Selasa, 20 Mei 2014

Catatan Ujian Nasional 2014



Alangkah lucunya negeri ini. Melihat wacana Ujian Nasional (UN) yang menjadi dinamika sendiri dalam masyarakat ini. Apalagi baru-baru ini hasil kelulusan UN tingkat SMA dan sederajat diumumkan. Dilihat dari statistik kelulusan UN dan ketidaklulusan, terlihat sekali ketimpangan. Banyak sekali yang lulus. Memang ada juga yang tidak lulus. Akan tetapi adalah sebuah kewajaran jika ada dalam ujian ada yang tidak lulus. Toh, tujuan ujian memang untuk menyaring siswa yang layak lulus dan tidak.

Seiring berjalannya waktu, muncul kelompok yang seakan-akan tertidas dikarenakan UN ini dan ingin menghapuskan UN. Banyak pendapat bermunculan di jejaring sosial media dan internet tentang UN, bahkan memunculkan pendapat yang bervariasi. Rasanya tidak ada salahnya apabila saya juga ikut berpendapat mewakili pendapat saya pribadi.

Saya ingin mulai dengan seorang siswi, yang menurut informasi yang beredar adalah salah satu peserta OSN, yang seakan menantang Mendikbud untuk mengerjakan soal UN matematika. Dia mengatakan ada dua buah soal yang sangat sulit dikerjakan, bahkan gurunya juga tidak bisa mengerjakannya. Akhirnya dia mengatakan bahwa UN itu tidak layak dikerjakan oleh siswa karena terlalu sulit.

Dari pendapat saya pribadi, saya akan bertanya terlebih dahulu. Apakah jika kita mengambil sampel guru matematika di Indonesia, dari sekolah yang juga diacak, apakah kita yakin guru tersebut bisa mengerjakan semua soal UN itu dengan benar 100%? apakah kita yakin kualitas guru di Indonesia sudah merata? silakan dijawab di hati masing-masing.

Apabila kita melihat lagi mengenai masalah guru, ini juga tidak kalah menarik. Ada sebagian kalangan yang meminta guru yang sudah sekian tahun mengajar bisa menjadi PNS secara langsung dan tidak perlu melalui tes lagi. Apakah dengan demikian kualitas pendidikan kita bisa baik? Selain itu banyak juga yang menuntut gaji guru diperhatikan dan diberikan standar yang tinggi untuk tunjangannya. sekali lagi saya bertanya, apakah kualitas guru tersebut meningkat atau tidak?

Ketika ada wacana untuk mengganti guru yang "kurang" berkualitas dengan guru baru yang berkualitas, banyak pula yang tidak setuju. Sertifikasi guru dianggap memberatkan guru-guru yang sudah sekian tahun mengajar. Memang pengabdian mereka sudah sangat baik. Akan tetapi ketika uji kualitas tidak dilakukan, bagaimana menilai kualitas guru tersebut? Padahal niat Mendikbud untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Tapi niat tersebut dihalangi oleh kelompok orang yang mengatasnamakan kemanusiaan. Tentu untuk mendapatkan sesuatu harus mengorbankan sesuatu pula. Jangan salahkan jika kualitas pendidikan Indonesia tidak merata dikarenakan persebaran guru berkualitas juga tidak merata. Baik saya juga mengakui sarana dan prasarana pendidikan juga berbeda. Namun harga yang dibayar tiap siswa untuk bersekolah juga berbeda. Jika hal ini juga dipermasalahkan, maka pemerataan ekonomi juga harus dilibatkan. Tapi sepertinya terlalu jauh juga jika kita berbicara demikian.

Kembali lagi ke masalah soal yang tidak bisa dikerjakan lagi. Menurut saya adalah wajar apabila ada soal yang sulit dalam sebuah ujian. Hal itu untuk memacu kemampuan siswa untuk lebih baik. Namun jumlah soal tersebut haruslah jauh lebih sedikit dari soal yang mudah. Sehingga walau siswa banyak yang tidak bisa mengerjakan soal tersebut tetap akan bisa lulus.

Itu masih dari satu sisi saja. Dalam pernyataan lain siswi tersebut juga mengatakan bahwa bobot soal tiap orang juga berbeda. Di sini saya juga akan mengatakan bahwa kemampuan orang juga berbeda. Walaupun masih satu materi yang sama, tapi menurut orang lain bisa jadi susah dan bisa jadi mudah. Dalam trigonometri misalnya, ada orang yang menurut dia cosinus jauh lebih mudah dari cotangen. Namun akan ada juga yang bilang cotangen lebih mudah dari cosinus. Apakah apabila salah satu mendapat soal cosinus dan satu lagi mendapat cotangen, itu menjadi perbedaan bobot? selama masih sesuai kisi-kisi yang sudah diberikan, maka menurut saya itu masih sama saja.

Jika kita beralasan bahwa UN itu membawa stress karena yang menjaganya saja polisi. Lalu alasan kemudian UN menentukan kelulusan sehingga membuat siswa menjadi tertekan dan tidak nyaman. Saya akan mengatakan mana ada ujian yang membuat nyaman. Justru wajar jika siswa akan merasa tertekan karena ujian tersebut sehingga dapat memacu diri untuk menjadi lebih baik. Jika tidak ada tekanan, malah siswa akan terlalu santai dan lebih berpotensi menjadi malas.

Jika ada yang mengatakan bahwa ada siswa di suatu daerah yang bunuh diri akibat stress UN dan meminta UN tidak usah diadakan dikarenakan hal itu, justru itu sangat aneh juga menurut saya. Ketika ada orang bunuh diri dipastikan karena dia mengalami masalah yang sangat kompleks. Apakah hanya UN saja? tentu tidak. Baik jika ada yang mengatakan itu hanya karena UN saja. Tapi menurut saya justru reaksi orang tersebut yang berlebihan. Mungkin pendidikan karakter siswa belum dibangun untuk siap menghadapi ujian. UN tidak semenyeramkan itu. Lihat statistik kelulusan UN yang jauh lebih banyak dari yang tidak lulus UN. Masihkah UN semenyeramkan itu?

Jika masih ada orang yang tetep bersikukuh bahwa itu layak dijadikan alasan, maka saya akan beri sebuah analogi. Ada orang yang ketika membuka situs porno menjadi terobsesi untuk melakukan pelecehan seksual bahkan hingga tingkat pemerkosaan. Kemudian pemerintah menutup beberapa situs yang didalamnya tidak menyaring gambar-gambar atau video pornografi dengan baik. Ratusan bahkan hingga ribuan protes akan hal tersebut hingga ada juga yang sampai mencela pemerintah. Padahal sudah jelas ada yang melakukan tindakan asusila karena situs tersebut dan menimbulkan dampak yang jelas pula. Sama juga kan dengan UN yang menyebabkan ada siswa yang bunuh diri. Tapi orang Indonesia memiliki pandangan yang berbeda. Sebenarnya cara orang Indonesia dalam menyimpulkan atau dasar untuk mengatakan sesuatu itu baik atau tidak itu apa sih?

Jujur saya bukan membela Menkominfo. Saya hanya berusaha melihat dari sisi kira-kira bagaimana pola pikiran dari Kementrian ini. Saya setuju apabila pemerintah memblokir situs-situs berbau pornografi. Namun saya juga berharap penanganannya dapat dilakukan dengan cara yang lebih bijak.

Kembali ke soal UN yang membuat stress siswa. Ada yang mengatakan bahwa menggunakan polisi untuk mengamankan UN dinilai terlalu berlebihan dan membuat siswa tambah stress. Jika saya boleh berpendapat, sudah dijaga oleh polisi saja UN masih bisa bocor, apalagi jika tidak dijaga. Bahkan sebuah media juga mengungkapkan bagaimana sistematisnya oknum-oknum guru dan kepala sekolah untuk mencari celah agar bisa mendapatkan soal UN dan memberikan jawabannya kepada siswa-siswinya. Luar biasa menurut saya.

Pihak sekolah mengatakan itu karena mereka berharap siswa-siswinya dapat lulus dengan nilai yang terbaik. Apabila saya juga boleh menambahkan, dengan seluruh siswa-siswinya lulus UN 100% dan mendapat nilai yang tinggi-tinggi, maka rating sekolah tersebut juga akan naik. Hal ini juga akan membuat banyak siswa-siswi baru yang tertarik masuk sekolah tersebut. Selain itu jika jawaban tersebut dijual ke siswa-siswi lain, tentu akan menghasilkan keuntungan hingga jutaan rupiah. Luar biasa bukan!

Apabila moral para pendidik kita sudah seperti itu, apa yang bisa kita harapkan lagi? ketidakjujuran sudah menjadi hal biasa dan lumrah ketika UN. Apakah seperti itu kita ingin mendidik calon penerus bangsa ini? Semoga kita semua bisa membiasakan hal yang benar, bukan membenarkan hal yang biasa.

Saran saya bagi orang yang sering mengkritik, bahkan sampai mencela mendikbud mengenai masalah UN ini, silakan menyampaikan solusi terbaik untuk memperbaiki semuanya. Iya semuanya. Silakan ajukan sistem pendidikan baru yang menurut Anda baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Buatlah sistem anti stress bagi siswa namun tetap menghasilkan putra-putri bangsa yang jauh lebih berkualitas. Bahkan kalau bisa silakan mengajukan diri sebagai mendikbud baru kepada presiden terpilih nanti (entah itu siapa) dan perbaiki sistem pendidikan Indonesia secara keseluruhan.

Kebanyakan orang Indonesia hanya bisa mengkritik dan mencela saja. Ketika ditanya solusi yang solutif, mereka hanya bisa diam. Tidak berani berkomentar apa-apa. Padahal negara ini saya yakin orang-orangnya terbuka untuk kritik yang positif dan membangun. Jika Anda hanya bisa mencela dan mengkritik tanpa memberikan solusi yang lebih baik, saya hanya dapat berkata bahwa "diam itu emas". Berbicara atau berpendapat bisa jadi berlian yang jauh lebih bernilai jika itu benar-benar berbobot dan membangun. Jika tidak bisa membuahkan berlian, maka lebih baik mendapatkan emas daripada tidak mendapat apapun. ^_^

Jumat, 18 April 2014

Diversifiaksi Ilmu



Tiba-tiba teringat dalam sebuah perlombaan robot tingkat nasional, perilaku tiap tim yang mencerminkan pola pikir analisa tim tersebut.

Ketika sedang berlatih, kita sebut saja tim A, mencoba menjalankan robot yang mereka bawa. Ternyata gerakan yang dilakukan oleh robot tersebut tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan. Seketika itu juga mereka semua membuka laptop dan mengecek AI (Artificial Intelegent atau gampangnya mah otak buatan) robot tersebut barangkali ada program yang salah. Mereka menghabiskan waktu cukup lama untuk mencari program apa yang salah. Setelah itu terlihat dari raut wajah mereka suatu bahwa mereka tidak bisa menemukan apa yang salah dari program itu. Akhirnya salah satu dari mereka mencoba membuat ulang program yang baru dengan tujuan agar robot bergerak sesuai keinginan. Namun ternyata hasilnya nihil. RObot tetap tidak bergerak sesuai keinginan mereka. Raut putus asa pun terlihat jelas dari wajah mereka.

Masih dari tempat yang sama, ternyata ada tim lain juga yang robotnya tidak berjalan sesuai keinginan. Sebut saja tim ini tim B. Bedanya dengan tim A, seluruh tim B justru mengecek kabel dan perangkat-perangkat lain dalam robot tersebut. Mereka mencoba melepas satu per satu perangkat dan mengeceknya barangkali ada yang rusak. Setelah beberapa lama, robot tersebut juga masih belum bergerak sesuai keinginan. Padahal mereka sudah membongkar seluruh perangkat dan memasangnya kembali. Raut putus asa juga terpancar dari wajah mereka.

Satu hal yang tidak disangka, ternyata ada satu orang dari tim B yang mengenal orang dari tim A. Melihat temannya juga terlihat putus asa, dia menghampirinya sambil sedikit bercanda. Mereka memiliki masalah yang sama, dan sepertinya itu cukup mengurangi keputusasaan dari mereka berdua. Setelah mengoborol sebentar, seorang dari tim B tersebut masuk ke tempat tim A. Dia mengamati robot tim A. Setelah itu dia membongkar sedikit dari dari robot tim A kemudian memasangnya lagi. Setelah itu robot tim A bisa bergerak sesuai dengan harapan. Terlihat jelas raut keceriaan dari tim A. Setelah itu dia bersama seorang dari tim A setengah berlari menuju tempat tim B. Setelah mengobrol sebentar, orang dari tim A membuka laptop dan mengecek program dari tim B. Entah apa yang dia ketik dan dia lakukan, tapi hal itu berhasil membuat robot dari tim B juga berjalan sesuai keinginan. Suasana keceriaan juga terlihat di tim B kali ini.

"Pasti yang satu 'basic'-nya informatika, yang satu lagi elektro." celetuk salah seorang temanku. Ya, kemungkinan besar seperti itu. Tim A memiliki 'basic' Informatika dan tim B memiliki 'basic' Elektro. Itu pula yang menjadi batasan masing-masing tim. Lebih tepatnya, batasan dari pola pikir masing-masing tim.

Tim A, ketika robot mereka tidak bergerak sesuai keinginan, mereka semua langsung mengecek AI dari robot mereka. Tidak ada dari mereka yang mengecek perangkat dari robot mereka. Hingga akhirnya ketika mereka putus asa karena tidak dapat menemukan apa yang salah dari AI robot tersebut.

Begitu pula kejadiannya dengan tim B. Masing-masing tim terlalu fokus pada satu bidang saja. Padahal bisa jadi kesalahan terletak pada sudut pandang lain. Kemungkinan robot dari tim A ada kabel atau sedikit perangkat yang tidak tersambung dan pada robot tim B ada program yang yang belum terinstal. Tapi karena tertutup oleh bidang studi masing-masing, mereka tidak dapat melihat kesalahan secara meluas. Ini terjadi biasanya karena pada kehidupan sehari-hari tim A yang memiliki 'basic' Informatika selalu berhubungan dengan perangkat lunak. Sehingga ketika ada kejadian yang tidak sesuai dengan harapan, maka ketika ada kejadian seperti itu, pasti akan beranggapan ada program yang salah. Robot pasti tidak ada yang salah (pengalaman sebagai orang informatika). Hal ini juga sepertinya terjadi berkebalikan pada orang Elektro.

Tidak ada ilmu yang bisa berdiri sendiri. Mungkin itulah yang bisa menggambarkan kejadian tersebut. Setidaknya itulah yang terbayang dalam pikiran ini. Ketika kita memiliki 'basic' informatika, secara tidak langsung pola pikir kita pasti akan mengarah ke arah sana. Kebanyakan orang pasti berpikir bahwa mendalami ilmu sangatlah penting. Sehingga tidak sedikit orang yang mengambil spesifikasi dari bidang ilmu yang mereka pelajari untuk memperdalam ilmu yang mereka miliki. Tapi ada hal lain yang tidak kalah penting. Diversifikasi ilmu juga tidak kalah penting. Ketika sudah banyak orang dengan spesifikasi tertentu, tetap butuh orang untuk menjembatani keahlian-keahlian tersebut agar dapat terintegrasi menjadi kesatuan yang padu. Ini mungkin yang kurang diperhatikan tapi tetap diperlukan. Seorang ahli komputer memiliki kemampuan yang terbatas pada bidang komputer tersebut. Tapi apabila bisa bekerja sama dengan seorang ahli kesehatan, dapat menciptakan program untuk mendiagnosa penyakit. Hal ini tentu bisa membantu seorang dokter juga. Tapi tetap perlu jembatan agar bidang-bidang ilmu bisa saling terintegrasi. Tentu ilmu dari kedua orang tersebut bisa lebih bermanfaat untuk kehidupan manusia. Lalu jika bidang ilmu yang diintegrasikan lebih banyak lagi, masalah yang lebih kompleks lagi bisa dipecahkan. Tapi sekali lagi diperlukan jembatan dari berbagai bidang ilmu tersebut untuk bisa berintegrasi.

Kamis, 20 Februari 2014

Sekilas Mengenai Unit Donor Darah PMI



Siang ini memang tidak begitu terik. Cuaca yang cukup bersahabat untuk kota yang biasanya berhawa panas karena terik matahari. Hari ini memang sudah diniatkan untuk kembali mendonorkan darah di Unit Donor Darah PMI cabang Surabaya. Setelah memacu sepeda motor beberapa lama, akhirnya sampai juga di Unit Donor Darah PMI.

Setelah memarkirkan sepeda motor di tempat yang disediakan, dimulailah rutinitas untuk mendonorkan darah yang kesekian kalinya. Alurnya masih sama seperti dulu. Dimulai dengan mengisi formulir berwarna putih untuk donor rutin, kemudian menyerahkannya ke bagian pendaftaran. Tak perlu menunggu waktu lama untuk kemudian dipanggil karena kondisi saat itu memang sedang sepi. Setelah itu langsung menimbang berat badan (*Alhamdulillah berat badan bertambah sejak terakhir kali donor) kemudian mengecek nilai Hb. Setelah dinyatakan cukup, kemudian masuk ke ruang kesehatan. setelah dinyatakan sehat oleh dokter, maka sudah dinyatakan siap untuk donor darah.

Ketika masuk ke ruang donor, secara sengaja memilih perawat yang terlihat tidak terlalu sibuk. Memang sudah direncanakan donor darah kali ini tidak sekedar untuk donor darah saja. Ada agenda lain yang direncanakan yaitu untuk mencari tahu sebenarnya seperti apa sistem kerja yang ada di PMI dan riset seperti apa yang sudah dilakukan oleh PMI.

Kebetulan yang terpilih untuk ditanyai seputar PMI adalah Ibu Aluk. Dari beliau saya mendapati ternyata sistem yang ada di PMI tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. PMI yang menangani donor darah ternyata terpisah dengan yang menangani bantuan bencana. Bagian yang menangani donor darah hanya Unit Donor Darah PMI. Sementara untuk urusan bencana diurus oleh bagian yang lain. Sepertinya terdapat dua yayasan berbeda yang masing-masing memiliki manajemen tersendiri.

Unit Donor Darah hanya melayani bagian donor darah, bank darah, distribusi darah, serta urusan lain mengenai pengolahan darah. Sumber dana yang didapatkan oleh Unit Donor Darah PMI ternyata berasal dari pembelian darah itu sendiri serta bantuan dari swasta. Dana dari pemerintah, dari informasi yang saya dapat tadi, masuk ke PMI bagian penanggulangan bencana. Hal inilah yang menyebabkan harga per kantong darah menjadi mahal, karena semua biaya pengolahan darah dibebankan kepada pasien (pembeli darah).

Ketika saya bertanya mengenai riset yang dilakukan di Unit Donor Darah PMI, seketika itu juga raut muka Bu Aluk seperti kebingungan. Ternyata memang beliau juga tidak tahu mengenai riset yang dilakukan oleh Unit Donor Darah. Beliau menyarankan saya untuk bertanya kepada bagian Humas Unit Donor Darah untuk mencari tahu hal tersebut.

Sebelumnya saya juga sempat mencari tahu mengenai riset yang dilakukan oleh PMI. Ketika mencoba membuka http://www.pmi.or.id saya tidak berhasil menemukan contoh riset yang pernah dilakukan oleh PMI. Dulu memang saya sendiri pernah membaca artikel dari sebuah koran mengenai organisasi semisal PMI lagi namun di Thailand (kalo gak salah sih. Maklum lupa. pokoknya masih termasuk ASEAN juga kok). Di sana ternyata lembaga yang semisal PMI tidak bergantung pada pemerintah. Memang ada dana dari pemerintah, namun tidak begitu besar dan tidak mencukupi. Oleh karena itu, mereka bekerja sama dengan pihak swasta untuk mencari sumber dana lain. Tentu saja bentuk kerja sama tersebut saling menguntungkan. PMI di sana menjual hasil riset mereka kepada pihak swasta. Hasil penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi biaya operasional mereka, bahkan bisa untuk riset lebih jauh lagi. Tak heran jika PMI di sana jauh lebih maju. Sepertinya hal ini berbeda dengan PMI di sini.

Unit Donor Darah PMI di sini masih bersifat kedaerahan. Jadi fasilitas yang ada di suatu daerah bisa jadi jauh berbeda dengan daerah lainnya. Sistemnya pun terpisah. Tak heran bila riwayat donor darah saya yang ada di kota Bandung tidak dapat dilihat di Surabaya. Ini karena sistemnya memang belum terintegrasi satu sama lain. Bagi saya selaku orang yang mengerti bidang teknologi informasi tentu beranggapan membuat sebuah basis data yang terintegrasi dengan website, dan dapat diakses di tiap daerah tentu sudah selayaknya dilakukan oleh organisasi sekelas PMI. Namun semua kembali ke masalah awal. Biaya operasional yang tinggi serta perbedaan fasilitas di setiap daerah menjadikan Unit Donor Darah PMI ini terkesan jalan sendiri-sendiri di tiap daerahnya.

Fasilitas yang ada di Unit Donor Darah PMI cabang Surabaya dapat dikatakan cukup baik. Mulai dari alat analisis Hb, Tekanan darah, dan lain-lain cukup memadai untuk pendonor serta untuk pengolahan darahnya sendiri. Namun hal itu tidak sama dengan dengan Unit Donor Darah di kota-kota kecil. Menurut Bu Aluk fasilitas di kota-kota kecil tentu tidak sebaik yang ada di Surabaya. Beberapa fasilitas yang ada di Unit Donor Darah PMI Surabaya pun ada yang merupakan sumbangan dari perusahaan.

Informasi yang saya dapatkan memang tidak begitu banyak dari Bu Aluk. Maklum, waktu saya untuk berbincang dengan beliau hanya sebentar. Sebatas waktu untuk mengambil darah saja. Setelah selesai beliau bersiap untuk melayani pendonor lain dikarenakan kondisi sudah mulai ramai. Sebelum saya meninggalkan Unit Donor Darah, sengaja saya mendatangi customer service yang berada di depan untuk kembali bertanya seputar sistem PMI dan riset yang sudah dilakukan di PMI, utamanya di Unit Donor Darah. Namun kembali lagi saya diarahkan ke bagian Humas yang berada di lantai atas. Dikarenakan saya juga memiliki agenda lain setelah itu, maka saya mengurungkan niat untuk bertanya langsung ke bagian Humas. Namun saya diberi nomor telepon jika ingin bertanya lebih jauh mengenai riset yang dilakukan di Unit Donor Darah PMI.

Kunjungan saya ke Unit Donor Darah PMI ini cukup menjawab beberapa pertanyaan saya. Tentang mengapa harga per kantong darah cukup mahal. Tentang mengapa riwayat saya donor di kota Bandung tidak ada di kota Surabaya. Namun memang masih ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab. Mungkin memang harus meluangkan waktu lagi untuk mencari tahu lebih jauh mengenai Unit Donor Darah PMI dan PMI itu sendiri. Semoga PMI bisa menjadi organisasi yang lebih baik lagi dan mampu memberikan pelayanan secara cepat dan berkualitas bagi Indonesia.

Sabtu, 21 Desember 2013

Fiqh Prioritas (I)



FIQH PRIORITAS
Salah satu konsep terpenting dalam fiqih kita saat ini adalah apa yang disebut “fiqih prioritas” atau fiqh al-awlawiyyat. Yang dimaksud daam istilah tersebut adalah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai dan pelaksanaannya. Hal ini dilakukan agar sesuatu yang tidak penting tidak didahulukan atas sesuatu yang penting, dan sesuatu yang penting tidak didahulukan atas sesuatu yang lebih penting.
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (ar-Rahman: 7-9)

Sesungguhnya terdapat parameter yang berkaitan dengan tingkatan perbuatan baik. Pun demikian terdapat pula parameter yang berkaitan dengan penjelasan mengenai perbuatan baik. Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa manusia memiliki derajat yang berbeda walaupun nilai kemanusiaan mereka adalah sama. Ilmu dan amal perbuatan merekalah yang menjadi pembeda antara satu dan yang lainnya.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Apabila kita memperhatikan kehidupan kita dari berbagai sisi, maka kita akan menemukan bahwa timbangan prioritas pada umat tidak lagi seimbang. Banyak di berbagai negara yang mayoritas muslim, lebih memprioritaskan hal-hal yang berkenaan dengan dunia seni dan hiburan dibandingkan persoalan menyangkut ilmu pengetahuan dan pendidikan. Juga pada pikiran remajanya, banyak perhatian yang lebih dicurahkan terhadap olahraga dibandingkan olah akal dan pikiran. Makna pembinaan pun lebih berat pada bidang jasmaniah saja.
Bahkan media pun lebih menyebarluaskan berita tentang tokoh sepak bola dibandingkan dengan kehidupan kaum ilmuwan. Hal ini juga membuat masyarakat ikut menumpukan perhatian mereka pada bidang sepak bola dan mengesampingkan bidang lain. Maka tak heran jika bintang masyarakat saat ini adalah mereka yang menjadi atlet sepak bola, bukan para ilmuwan atau juru da’wah. Apabila ada seorang pemain sepak bola yang cedera, maka banyak media yang meliputnya. Namun apabila ada salah seorang ilmuwan yang meninggal dunia, hampir tidak ada media yang meliput. Padahal kita akan jauh kehilangan ilmuwan yang dapat memperbaiki dunia ini dibanding hanya seorang atlet yang menjadi penghibur. Oleh sebab itu maka prioritas kita dalam hal dunia ini harus diperbaiki lagi.
Penyimpangan masalah fiqih ini sebenarnya tidak hanya terjadi di kalangan awan kaum muslimin. Apabila kita perhatikan sekeliling kita, maka tidak sedikit pula orang yang telah menisbatkan dirinya pada agama ini juga tidak memprioritaskan hal yang tepat. Hal ini karena tidak adanya pengetahuan dan fiqih yang benar.
Sering kali kita mendapati orang yang menyibukkan diri dengan perbuatan yang tidak kuat (marjuh) dan menganggapnya sebagai amalan yang kuat (rajih) – walaupun sebenarnya mereka adalah orang yang ikhlas – dan menutup diri di dalamnya. Mereka sibuk dengan perbuatan yang tidak utama (mafaduhul) dan melalaikan perbuatan yang utama (fadhil). Memang kadang perbuatan tersebut pada suatu masa merupakan perbuatan yang utama. Akan tetapi pada masa yang lain hal tersebut pada masa yang lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan yang utama. Akan tetapi karena pengetahuan dan pemahaman mereka yang kurang, sehingga tidak bisa membedakan antara dua masa dan suasana yang berlainan itu.
Misalkan saya contohkan seperti ini. Ada banyak orang muslim yang baik hati hingga mau menyumbang pembangunan sebuah mesjid yang nilainya tak jarang hingga milyaran rupiah. Akan tetapi bila ia dimintai sumbangan sebesar itu, atau separuhnya saja, untuk mengembangkan da’wah Islam, memberantas kekufuran dan kemusyrikan, mendukung kegiatan Islam yang berlandaskan syari’ah atau kegiatan-kegiatan lain yang memiliki tujuan besar, maka kadang-kadang mereka justru enggan untuk memberikan dana. Mereka seperti orang pekak, yang lebih percaya pada membangun batu dibandingkan dengan membangun manusia.
Apabila kita perhatikan lagi, khususnya di pulau jawa ini, masjid seakan bukan bangunan yang asing. Hampir di setiap sudut terdapat masjid atau mushola. Bahkan tak jarang ada kawasan yang masih dalam satu Rukun Tetangga tetapi memiliki masjid yang berjumlah lebih dari satu. Yang lebih mencenangkan lagi ukuran masing-masing masjidnya pun bisa lebih dari cukup untuk menampung orang dalam satu Rukun Tetangga tersebut. Namun sering kali tetap saja ada pembangunan untuk memperbesar dan memperindah masjid-masjid itu. Sehingga dana umat terserap ke sana dan yang tersalurkan pada hal lain menjadi sangat sedikit.
Lain lagi pada sejumlah besar kaum muslim yang kaya raya. Banyak diantara mereka yang berbondong-bondong datang ke tanah suci untuk melakukan ibadah haji maupun umroh setiap tahunnya. Untuk hal tersebut mereka dapat mengeluarkan dana yang tidak sedikit dengan mudah. Tapi kita lihat sendiri di Indonesia ini masih banyak orang miskin yang memerlukan bantuan mereka. Padahal Allah sudah tidak mewajibkan lagi haji dan umrah pada mereka.
Di Indonesia sendiri masih banyak saudara kita yang justru hidup dalam keadaan yang serba kekurangan. Baik itu dari segi harta, keilmuan maupun dari segi kemandirian. Ketika mereka dimintai sumbangan untuk membangun pondok tahfidz, membiayai beberapa ulama muda untuk menyebarkan ilmu dipelosok pedalaman, membantu korban bencana, membangun lembaga-lembaga tandingan dalam menghadapi lembaga-lembaga liberalisme, sekulerisme, serta golongan-golongan lain yang hendak melemahkan Islam, justru terdapat keengganan dalam hati mereka untuk berpartisipasi.
Apabila disampaikan kepada mereka, ”Bagaimana pendapat Anda jika pada tahun ini Anda tidak perlu melakukan ibadah haji lagi. Lalu kemudian uang untuk ibadah haji tersebut disumbangkan untuk membangun lembaga untuk menghadapi arus liberalisme hingga kritenisasi yang semakin gencar. Apabila Anda bersedia dan banyak dari orang yang telah menunaikan ibadah haji lebih dari sekali juga mengikuti jejak langkah Anda, maka dana yang terkumpul itu bisa menjadi proyek besar. Selain itu juga Anda akan mendapatkan pahala baik dari orang yang mengikuti jejak langkah Anda, maupun dari setiap kegiatan lembaga.”
Namun sangat disayangkan saudara-saudara kita hampir kebanyakan menjawab, “Sesungguhnya kami ini bila bulan Zulhijjah tiba akan merasa sangat senang. Dan rasa senang itu membawa kami pada kerinduan untuk melakukan ibadah haji. Kami merasa bahwa ruh-ruh kami seakan terpanggil untuk kembali beribadah ke sana. Kami juga merasan berbahagia apabila dapat melaksanakan ibadah haji setiap musim bersama para jamaah haji lainnya.”
Apabila saya boleh mengutip kata-kata dari Bisyr al-Hafi, “Kalau setiap muslimin mau memahami, memiliki keimanan yang benar, dan mengetahui makna fiqih prioritas, maka dia akan merasakan kebahagiaan yang lebih besar dan suasana kerohanian yang lebih kuat, setiap kali dia mengalihkan dana ibadah haji itu untuk memelihara anak-anak yatim, memberi makan orang-orang yang kelaparan, memberi tempat perlindungan bagi orang-orang yang terlantar, mengobati orang sakit, mendidik orang-orang yang bodoh, atau memberi kesempatan kerja kepada para penganggur.”

Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang lalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridaan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.  Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (at-Taubah: 19-22)

Sungguh sangat disayangkan memang. Umat ini masih belum begitu memahami prioritas sesungguhnya yang benar-benar diperlukan umat pada jaman ini. Sering kali juga banyak kelompok kaum muslimin yang bertengkar mempertahankan diri dalam masalah juz’iyah atau masalah-masalah khilafiyah dan melalaikan perjuangan Islam yang lebih besar melawan musuh-musuh Islam. Bahkan tidak sedikit yang memperdebatkan masalah-masalah ringan seperti jam tangan harus diletakkan di tangan kiri atau kanan, makan di atas meja sambil duduk di atas kursi lalu menggunakan sendok dan garpu apakah menyerupai kaum kafir atau tidak dan hal-hal sebagainya. Entah bagaimana hal itu justru hal tersebut menyita banyak perhatian kaum muslim.
 Pada jaman kemunduran ini, banyak kaum muslimin yang terjebak pada suatu perbuatan yang hingga hari masih sering dilakukan, diantaranya
1.      Mereka tidak mengindahkan (sampai kepada suatu batas yang sangat besar) fardhu-fardhu­ kifayah yang berkaitan umat secara menyeluruh. Contohnya seperti peningkatan ilmu pengetahuan, perindustrian, kepiawaian dalam peperangan, yang sesungguhnya dapat menjadikan umat menjadi mandiri.
2.      Mereka juga mengabaikan sebagian fardhu ‘ain, atau melaksanakannya secara tidak sempurna. Seperti misalnya kewajiban yang masih sering dilakukan adalah sholat, tapi kadang melupakan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Banyak dari kita yang merasa enggan untuk mengingatkan saudara kita sendiri karena merasa yang penting diri kita masih melakukan sholat.
3.      Mereka menumpukan perhatiannya kepada sebagian rukun Islam lebih banyak dibandingkan dengan rukun Islam yang lain. Yang lebih sering terjadi adalah lebih banyak sholat tapi enggan untuk berzakat. Ada pula yang masih sering tidak berpuasa pada bulan ramadhan.
4.      Mereka lebih banyak memperhatikan ibadah sunah mereka dibandingkan yang wajib. Pun lebih mempedulikan ibadah-ibadah individual dibanding ibadah sosial. Seperti banyak terjadi pada para pemeluk agama ini yang memperbanyak bacaan wirid, tasbih dan zikir, tetapi melupakan perbuatan fardhu yang bersifat sosial seperti memperlakukan kedua orang tua dengan baik, silaturahim, bertetangga dengan baik, mengasihi orang-orang lemah, memelihara anak yatim dan miskin, hingga menyingkirkan kemungkaran dan kezaliman.
5.      Mereka akhir-akhir ini banyak yang memiliki kecenderungan untuk mempedulikan masalah furu’iyah dan mengabaikan masalah-masalah pokok. Padahal jika kita terus berputar dalam masalah furu’i dan mengabaikan masalah pokok makan kita tidak akan sampai di tujuan kita. Mereka melalaikan pondasi aqidah, iman, tauhid dan keikhlasan dalam membela agama Allah.
6.      Dan kebanyakan dari mereka juga lebih sibuk memerangi hal-hal yang makruh dan syubhat dibandingkan hal-hal yang diharamkan dan bahkan telah menyebar luas. Bahkan ada yang sampai berbicara dengan keras mengenai masalah yang makruh dan syubhat tapi seolah tidak menyalahkan hal-hal yang jelas haramnya demi pamor belaka.

Selasa, 07 Mei 2013

3 Hal Minimal

Ada 3 hal yang minimal bisa dirasakan mukmin lain dari dirimu sendiri. ketiga hal itu adalah

1. Jika dirimu tidak bisa membantunya, maka janganlah dirimu merugikannya
2. Jika dirimu tidak bisa menyenangkan hatinya, maka janganlah dirimu menyakitinya
3. Jika dirimu tidak bisa memujinya, maka janganlah dirimu mencelanya

Setidaknya inilah tiga hal dasar yang harus bisa kita lakukan untuk saudara kita jika kita masih beriman. Itu adalah seringan-ringan perbuatan jika kita mencintai saudara kita. semua itu terlihat amat sangat mudah bukan? bahkan seperti tidak perlu berbuat apa-apa. Namun demikianlah adanya. kadang hal yang begitu sepele saja sering membuat kita lupa dan melalaikan kita. entah berapa kali tanpa kita sadari kita telah menyusahkan orang lain. entah berapa kali kita sudah menyusahkan orang lain. bahkan dalam obrolan pun kadang kita tidak bisa lepas dari yang namanya mencela. baik itu dalam sadar maupun tidak.

jujur saja diri ini akui, bahwa dua dari tiga hal tersebut masih belum bisa ditunaikan dengan baik. padahal hal itu bisa dikatakan amatlah sepele. dan itu merupakan tahapan minimal. kadang ada kalanya ingin diri kita membantu orang lain. akan tetapi dikarekan usaha yang kurang maksimal dari kita sendiri, maka justru yang terjadi adalah diri kita jadi merugikan orang lain. lai lagi ketika kita ingin menyenangkan saudara-saudara kita dengan setiap prilaku kita. namun pahamkah kita dengan tabiat dan keinginan saudara kita? sudah kah kita memahami apa yang mereka sukai dan mereka benci? karena tanpa semua itu bisa jadi justru setiap prilaku kita hanya akan menyusahkan hatinya dan membuat hatinya sakit. kadang kala itu tidak kita sadari. walaupun niat kita tidak begitu kawan, tapi ternyata niat saja tidak cukup. kita harus bisa mencari tau lebih jauh tentang apa saja yang tidak disukai oleh saudara ktia.

saat ini jujur saja aku telah tersadar makna dari perumpamaan itu. dengan hanya berdiam diri saja belum tentu tigal hal minimal tersebut bisa tercapai. apalagi dalam kebersamaan. apabila kita bersama-sama saudara kita, maka janganlah berdiam diri. kadang ketika kita berdiam diri, justru akan memberatkan saudara kita. dengan diamnya kita justru akan menghambat gerak jalan mereka menuju target yang ingin mereka capai. tiga hal minimal ini juga tidak akan bisa capai dengan mudah kawan. kita tetap harus berusaha mencapai target minimal itu. lebih baik menjadi orang yang tidak diingat sama sekali daripada justru diingat karena kesalahan yang telah kita perbuat pada saudara kita. baik itu kecil maupun besar.

Maaf untuk semua yang telah aku lakukan dan semua yang terjadi karena aku pula. sungguh tidak ada maksud untuk membebani dan menyakiti kalian. maaf untuk semuanya

Minggu, 30 September 2012

Pena dari Kanvas Hidup ini


Setiap masa memiliki kenangan tersendiri. Entah itu akan menjadi indah, atau akan menjadi buruk. Namun masa – masa itulah yang membentuk kita kini. Setiap masa yang telah ditapaki itu kini menjadi jejak langkah. Entah akan ada yang mengikutinya ataupun tidak. Namun setiap orang memiliki jejak masing – masing. Walau tempat akhirnya sama, belum tentu jejak itu akan sama dengan jejak yang ditapaki oleh orang lain. Dan jejak itu selamanya tak akan pernah terhapus.

Setiap masa, setiap jejak, setiap kenangan, tak ada yang akan berubah. Semuanya memiliki andil dalam membentuk karakter diri. Kadang ada hal yang tergantikan karena masa itu telah habis dan dimulai masa yang baru. Kadang pula justru terikat dengan masa yang sulit dan berat untuk melangkah memulai sebuah tapak baru. Ingin segera memulai sebuah masa yang baru tapi tak bisa lepas dari masa lalu.

Terikat dengan masa lalu. Yap, mungkin ini yang sebenarnya menggambarkan diri ini. Goresan pena kehidupan itu masih belum diangkat. Walau kini pena baru turut menggores lembaran kanvas ini. Hingga gambar yang terbentuk tak sepadan dan acap bertabrakkan. Tidak bisa fokus membuat sebuah lukisan hidup yang indah memesona. Tapi tetap ada pena yang sering menyeruak garis pena lain dan menyebabkan dualisme lukisan. Tapi inilah lukisanku. Inilah hidupku.

Tak banyak orang yang melihat kesemua pena yang melukis hidupku kini. Yang terlihat mungkin hanya sebuah pena baru untuk yang sedang melukis masa depan.  Tapi pena masa lalu ini tetap mengukir. Tak banyak yang tahu tentang pena ini. Dan tak banyak pula yang memperhatikannya. Tapi pasti akan jelas terlihat nanti ketika seluruh lukisan ini mulai bertabrakkan dan menjadi satu. Bukan lukisan yang diekspektasikan banyak orang pastinya. Dan hasil yang ditampakkan pasti di luar perkiraan.

Lukisan ini mulai padu. Pada akhirnya akan membentuk sebuah karya yang bernama “hidupku”. Seandainya bisa kutarik pena masa lalu ini agar aku bisa melukis semua seperti apa yang terlihat. Entah harus kusesali atau entah bagaimana. Seharusnya pena ini tak pernah melukis kanvas hidup ini. Karena tak jua terangkat atau sekedar untuk menepi. Tapi di sisi lain pena baru sudah melukis hidup ini. Semua tentang hidupku pasti akan terlihat nanti. Namun apakah mereka akan tetap melihat pada lukisan yang sama? Atau perhatian mereka terfokus pada lukisan lama yang tak pernah mereka perhatikan sebelumnya.

Memang sudah seharusnya aku tidak memulai pena baru ini. Tak menjalani hidup sebagai panutan bagi orang lain. Ketika mereka sadar siapa diri ini, semoga tidak membuat mereka patah arah juga. Aku tidak berharap untuk diterima dan dimaklumi. Toh seiring dengan waktu yang bergulir semua juga akan berjalan sebagaimana mestinya.

Aku tidak berharap mereka akan memiliki persepsi yang baik terhadapku pula. Kenyataan yang terlihat justru sebaliknya. Aku tidak akan mempermasalahkan itu. Bahkan untuk setiap dari apa yang pernah dilakukan, aku justru senang karena mereka masih peduli padaku. Walau memang semenjak dulu tak pernah bisa menceritakan semuanya. Seandainya aku memang tidak pernah ada bersama kalian. Dan semoga memang nantinya tidak ada yang terlibat dalam goresan hidupku kelak. Pasti semuanya akan aku akhiri. Pena ini tak seharusnya melukiskan kembali lukisan yang tidak ingin aku lihat lagi. Namun tetap aku harus menggoreskan kembali pena ini. Ya benar, hanya sekedar untuk goresan akhir saja. Sekedar untuk mengakhiri lukisan yang tidak ingin ditampakkan. Walau harus menepikan semua pena yang ada itu tak jadi soal. Aku hanya ingin mengakahiri semuanya. Sebelum semua menjadi terlambat. Sebelum semakin banyak yang terlibat. Sebelum dampak ini akan semakin nyata bagi yang lain. Maka aku harus bergegas.

Minggu, 23 September 2012

Ohayou - Lyric

Tanomi mo shinai no ni asa wa yatte kuru mado o
akete chotto fukaku shinkokyuu
fukurettsura no kimi omoi dashite warau
kenka shita yokujitsu wa rusuden ni shippanashi daro
waraiau koto nanigenai kaiwa
mainichi no kurashi no naka de dou datte ii koto
nani mo kangaezuni ukande kuru kotoba fu to shita
shunkan ga taisetsu datte
kimi ni ohayou tte itte messeeji o nokoshite
boku no ichinichi hajime ni dekakenakya marude nani
mo nakatta mitai ni
denwa shite kuru kimi no koe ga suki nanda

bukiyou ni natte ita nani ga jama shite
atarimae na koto ga futoumei ni natte
boku yori mo boku no koto o umaku aiseru no wa
kimi shika inain datte wakatte kuyashikattan dake do
sennyuukan tte jibun ni mo aru ne douse dame sa nante
jibaku mo sezuni
furidashi ni tatte tohou ni kurete mo hajime no ippo
sukuwarete miru

* kimi to kata o kunde kimi to te o tsunaide
koibito dattari tomodachi de itai kara
ohayou tte itte mata yume o misete
shizen na sono ikikata de ii kara sa

minarete ita kimi no hen na ji mo daiji na kotoba
kaku to shinsen ni mieru
sunao ni narenai sunao sa nanka ja kimi ni nanni mo
tsutawaranai
mata ohayou tte itte mata yume o misete
kyou mo genki de sugosetara ii yo ne
konna ni tanjun de atarimae na koto ga hontou wa
ichiban miushinaigachi dakara ne

me o aketa mama miru yume shiranai ashita e hakobu
Merry-go-round goes