Senin, 05 September 2011

Bekal Perjalanan

 
Di sebuah dusun di sebuah daerah, terdapat sebuah masjid megah berdiri dengan kokoh. Hampir setiap hari masjid tersebut selalu penuh oleh orang – orang yang beribadah. Masyarakat daerah tersebut juga bisa dibilang berada. Namun hanya ada satu orang saja yang mau menjadi pengurus masjid di sana. Dan orang tersebutlah yang mengurus masjid mulai dari membersihkannya, merawatnya, hingga mengurus kotak infaknya.
Namun ada yang aneh dari masjid tersebut. Setiap bulannya, selalu saja laporan keuangan masjid tersebut selalu defisit. Seakan – akan pemasukan kotak infak masjid selalu saja sedikit. Hingga untuk biaya listrik, air dan lain – lain saja kurang. Padahal masjid tersebut selalu saja ramai, bahkan ketika sholat subuh sekalipun. Hal ini lah yang mengundang kecurigaan warga. Banyak desas – desus bahwa data keuangan ini telah dimanipulasi. Hingga akhirnya suatu hari warga pun mendatangi pengurus masjid tersebut untuk meminta pertanggungjawaban.
“Pak Indra, ayo cepat keluar dari rumah. Saya yakin Pak Indra ini telah merubah data keuangan masjid. Ayo cepat keluar!” teriak salah satu warga.
Tak lama kemudian Pak Indra keluar dengan wajah agak terkejut.
“Assalamu’alaykum. Ada apa Bapak – bapak? Kok pada berkumpul di depan rumah saya?”
“Sudah tidak usah berkelit lagi. Bapak pasti sudah memanipulasi keuangan masjid kan? Ayo ngaku saja.” teriak warga yang lain.
“Tidak. Saya tidak pernah memanipulasi data apapun. Apa yang saya tulis di laporan keuangan masjid adalah benar -  benar berdasarkan kondisi keuangan yang sebenarnya.”
“Bapak ini kalau mau mengarang cerita yang realistis. Warga di sini sering sholat berjamaah di masjid. Bahkan masjid juga selalu penuh pada saat sholat jumat. Tapi kenapa laporan keuangan di masjid selalu saja sedikit bahkan kurang. Padahal kami juga bukan orang yang miskin sehingga tidak mampu sedekah.”
“Tapi memang kenyataanya demikian Bapak – bapak.”
“Sudah Bapak tidak usah berkelit lagi. Pasti Bapak sudah mengambil uang dari kotak infak tersebut untuk Bapak sendiri kan? Dan dosa bagi orang meng korupsi dana masjid itu sangat besar.”
“Dusun ini bukan sarang orang – orang yang korupsi. Bakar saja rumahnya dan usir dia dari dusun ini.” Teriak seorang warga yang emosinya mulai tersulut.
Entah mengapa perkataan seorang warga tersebut justru ikut menyulut emosi warga yang lain. Tanpa dikomando lagi warga yang lain langsung berteriak – teriak menghujat pak Indra. Seketika itu juga hati pak Indra menjadi ciut dan merasa takut. Istri dan anak pak Indra pun ketakutan di dalam rumah. Dan entah siapa yang memulai batu – batu mulai berterbangan menghujam rumah pak Indra. Beberapa jendela mulai pecah. Bahkan ada juga batu yang mengenai pak Indra hingga ia jatuh tersungkur.
“Berhenti, berhenti!” teriak salah seorang warga.
“Jangan main hakim sendiri. sudah tahan emosi kalian.”
Emosi warga pun tampak mulai reda. Kemudian pak Indra pun kembali bangkit sembari menahan sakit.
“Baik Bapak – bapak semua. Jika menurut Bapak – bapak sekalian saya sekeluarga harus pergi dari dusun ini maka saya akan pergi. Tapi mohon berikan saya waktu semalam lagi untuk bersiap – siap. Besok pagi saya akan pergi dari dusun ini.”
“Tidak. Harta kekayaan pak Indra adalah hasil korupsi infak masjid. tinggalkan di sini dan pergi tanpa membawa apapun.” teriak salah seorang warga.
Warga yang lain pun mulai meneriakkan hal yang sama. Hati pak Indra pun kembali ciut.
“Tenang semuanya. Tolong tenang dulu.” seorang warga berusaha menenangkan warga yang lain.
“Baik Bapak – bapak semua. Tapi mohon berikan saya waktu sampai besok pagi. Saya tidak akan membawa barang berharga apapun. Tapi saya juga ada permintaan untuk Bapak – bapak semua.”
“Apa permintaan Pak Indra. Ayo cepat sebutkan saja.” teriak seorang warga yang masih terasa emosi dalam nada bicaranya.
“Tunggu sebentar.”
Kemudian pak Indra masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian dia keluar sambil membawa sebuah botol yang ditutupi kain hitam. Warga yang berkumpul mulai penasaran dengan isi botol yang ditutupi kain hitam tersebut.
“Bapak – bapak semua. Saya mohon dengan sangat kiranya Bapak – bapak sekalian masih bersedia memberikan bekal perjalanan bagi diri saya yang hina ini. Saya yakin Bapak – bapak semua adalah orang berada seperti yang Bapak – bapak sebutkan tadi. Dan saya yakin masih ada rasa untuk berbagi dalam diri Bapak – bapak sekalian. Oleh karena itu, sekiranya saya bisa meminta sebotol susu untuk bekal perjalanan saya nanti. Dan saya harap Bapak – bapak sekalian mau berbagi setidaknya setiap orang bisa memberi saya sesendok susu saja.”
“Jika hanya itu keinginan Pak Indra, maka akan kami penuhi.” Jawab seorang warga.
“Kalau begitu nanti malam botol ini akan saya taruh di depan masjid. saya harap Bapak – bapak sekalian mau berbagi sesendok susu kepada saya.”
Seluruh warga pun menyetujuinya. Setelah itu mereka pun pulang ke rumah masing – masing. Dan Pak Indra juga kembali ke rumahnya untuk diobati oleh anak dan istrinya. Dalam hati pak Indra hanya bisa pasrah atas semua yang menimpanya.
~~~
Pada malam harinya, setelah sholat Isya, Pak Indra meletakkan botol yang ditutupi kain hitam itu tepat di depan masjid. Warga pun secara bergantian mengisi botol tersebut. Dan keesokan harinya semua berkumpul di depan masjid. mereka masih menunggu pak Indra untuk mengambil botolnya dan pergi dari dusun tersebut. Tak lama kemudian pak Indra dan keluarganya pun datang.
“Hai orang yang dilaknat Allah. Segera ambil susumu itu dan segera enyah dari sini.” teriak seorang warga.
Warga yang lain pun mulai berteriak – teriak memaki pak Indra. Tampak raut muka pak Indra rasa takut dan sedih. Namun dia masih berusaha tersenyum.
“Terima kasih atas kemurahan hati Bapak – bapak semua, karena masih memberikan saya bekal untuk perjalanan saya. Sungguh ini merupakan bekal yang sangat berharga bagi saya dan keluarga saya. Meskipun hanya sebotol air, namun amat sangat berarti bagi kami.”
“Apa maksud Bapak? Bukankah kami sudah mengisinya dengan susu seperti yang Bapak minta?” kata salah seorang warga.
“Kalau begitu biar saya buktikan.”
Kemudian pak Indra membuka kain hitam yang menutupi botol tersebut. Dan terlihat jelas bahwa isi botol tersebut adalah air bening. Tak sedikit pun terlihat ada cairan putih yang terlihat. Seluruh isinya adalah air yang bening hingga apa yang ada di balik botol tersebut bisa terlihat.
“Seperti yang bisa Bapak – bapak lihat. Apa yang diberikan kepada saya seluruhnya adalah air murni. Tidak ada campuran susu sedikit pun. Mungkin Bapak – bapak mengira bahwa hanya Bapak sendiri yang memasukkan sesendok air ke dalam botol ini, dan yang lain benar – benar memasukkan susu ke dalamnya. Dan sesendok air dalam sebotol susu tentu tidak akan terlihat. Tapi seperti yang Bapak – bapak semua lihat. Tidak ada seorang pun yang memasukkan sesendok susu ke dalam botol ini.
Seperti itu juga infak Bapak – bapak sekalian di masjid. Mungkin Bapak – bapak sekalian mengira bahwa hanya Bapak sendiri yang tidak menyumbangkan sebagian kecil rezekinya, dan berpikir bahwa orang lain telah menyumbang dengan jumlah yang besar. Kalaupun ada yang menyumbang, itu juga hanya sekedarnya. Entah karena memang rezeki yang diterimanya sangatlah sedikit atau entah karena apa, mungkin Bapak sendiri yang lebih tahu. Tapi saya percaya seperti yang Bapak – bapak sekalian bilang sendiri, bahwa Bapak – bapak berasal dari golongan orang yang berada. Dan sungguh demi Dia Yang Menggenggam jiwa ini, seluruh laporan masjid yang saya buat adalah benar – benar berdasarkan kenyataan. Tidak ada sedikit pun yang saya manipulasi.”
Pak Indra berhenti berbicara sejenak. Ia ingin mengatur nafasnya sebentar. Terlihat warga di sekitarnya hanya tertunduk lesu. Tak ada yang berani menatapnya dengan garang lagi. Kemudian ia tersenyum kecil dan melanjutkan pekataanya.
“Seperti yang Bapak – bapak semua minta, maka pagi ini saya dan keluarga akan pergi dari dusun ini. Dan bekal yang kami bawa adalah apa yang kami kenakan saat ini dan sebotol air hasil sedekah dari Bapak – bapak semua. Saya hanya berpesan kepada Bapak – bapak semua untuk terus rajin beribadah seperti yang sebelumnya, dan kalau bisa ditingkatkan lagi. Selain itu juga saya juga mohon kepada Bapak – bapak semua agar mau memakmurkan masjid kita ini. Saya percaya ketika saya sekeluarga pergi nanti, masjid ini akan jauh lebih makmur lagi daripada sekarang. Karena urusan saya juga di dusun ini sudah selesai, maka saya akan pergi sekarang juga dari dusun ini. Assalamu’alaykum warohmatullahi wabarokatuh.”
Suara jawaban salam dari pak Indra ini hanya terdengar lirih. Kemudian suasana menjadi hening. Tidak ada sepatah kata lagi yang keluar. Semua mata hanya tertunduk dan tak ada yang berani memandang ke arah pak Indra lagi.
Pak Indra beserta keluarga kini melangkah keluar dari dusun. Dia melangkah tanpa rasa ragu untuk pergi dari dusun tersebut. Terpasang jelas senyuman kecil dari raut muka pak Indra. Namun entah ada yang melihatnya atau tidak.
Sempat terdengar ada seseorang yang memanggil kembali namanya. Namun pak Indra semakin mantap melangkah tanpa menoleh ke belakang. Baginya, sebotol air hasil dari warga dusun tersebut sudah sangat cukup untuk menjadi bekal perjalanannya kelak. Sebuah bekal yang diyakininya bisa sangat berarti untuk hidupnya kelak. Dan kini ia terus berjalan menyusuri jalan setapak. Hingga akhirnya bayangannya pun hilang di ujung batas pandang.