Bismillahirrahmanirrahim....
Siang itu udara terasa cukup panas. Namun Dinda tetap bergelut dengan laptopnya di bawah naungan sebuah pohon rindang.
“Yups, semoga saja semua ini cukup untuk bisa menang di lomba karya ilmiah nanti.” Gumannya dalam hati
Dinda merupakan seorang mahasiswi yang cukup populer di kampusnya. Segudang prestasi akademik telah diraihnya. Mulai dari IPK tertinggi sampai dengan juara lomba karya tulis ilmiah di tingkat nasional. Semua itu telah di raihnya di tahun ketiganya saat menyandang status mahasiswi.
Parasnya yang anggun serta sifatnya yang ramah membuatnya disukai semua orang. Banyak pula pria yang berusaha menggoda hatinya. Namun sepertinya belum ada yang mampu menarik hatinya. Hingga sampai saat ini pun dia masih melajang. Sempat terbesit dalam benaknya untuk berpacaran dengan seorang pria. Namun dia masih berusaha mencari seorang pria yang mampu menarik hatinya.
“Masih suka ngelamun aja nih Din.” Celetuk Riska yang menghampirinya
“Ah, enggak kok. Ini baru selesai buat karya tulis baru. Semoga nanti bisa juara lagi.” Balas Dinda sambil tersenyum kecil.
“Amin. Kalo kamu sih aku percaya pasti bisa deh. Ayo sekarang kita pulang.” Ajak Riska.
Kini mereka menyusuri jalan setapak kampus menuju sebuah halte bis.
“Din, tanya dong. Kan banyak tuh cowok yang udah deketin kamu. Apa gak ada yang nyatol kah di hatimu?”
“Wah, sampai sekarang gak ada tuh. Ya walau banyak sih yang udah nembak juga, tapi kayak belum ada yang nyampe sreg gitu di hati.”
“Wah padahal orang kayak kamu itu banyak lho yang nyari. Ya tapi pasti nyari yang sebanding juga ya prestasinya?” canda Riska.
“Ah, enggak kok. Gak harus punya prestasi juga. Yang penting bisa sreg di hati, itu aja udah cukup kok.”
Tiba – tiba ada seorang lelaki yang menghampiri Dinda seakan sedang terburu – buru.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Dinda dan Riska bersamaan.
“Maaf Mbak, tadi Mbak gak sengaja kelupaan ngambil kartu ATM setelah ambil uang tadi. Ini kartunya Mbak. Maaf baru saya kembalikan soalnya tadi pas saya cari Mbak udah gak ada. Dan ini baru ketemu sekarang.”
Seketika itu juga Dinda langsung memeriksa dompetnya. Dan benar saja bahwa kartu ATMnya itu memang tidak ada pada tempatnya. Lalu dia pun menerima kartu ATMnya dari lelaki tersebut. Dia baru sadar sebelum menyelesaikan karya tulisnya, dia sempat mengambil uang di ATM dan lupa mengambil kartu ATMnya.
“Oh iya. Terima kasih ya Mas.” Kemudian Dinda menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan tanda berterima kasih.
“Oh iya Mbak. Sama – sama.” Lelaki itu melipat tangannya ke depan dadanya.
Tanpa sadar Dinda pun meniru apa yang dilakukan lelaki itu.
“Maaf Mbak, saya permisi dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Dinda dan Riska.
Kemudian lelaki itu pun segera pergi meninggalkan Dinda dan Riska.
“Din, coba kamu cek dulu. Saldo ATMnya berkurang gak?”
“Oh iya.”
Kemudian mereka berdua tergesa - gesa menuju ATM. Lalu Dinda segera mengecek jumlah saldo di rekeningnya.
“Untung tidak berkurang.” Dinda menghembuskan nafas lega.
“Untung yang nemuin kartu ATMmu Amsar. Coba kalo orang lain, habis sudah saldo ATMmu.”
“Oh jadi nama cowok tadi Amsar ya.”
“Lho, kamu belum tau ya?”
“Iya, aku baru tau ini. Tapi orangnya kok aneh banget ya? Masa diajak salaman aja gak mau.”
“Ya iya lah. Dia kan anak LDK. Mana mau salaman sama wanita yang bukan istrinya.”
“LDK?” Dinda agak mengerutkan dahinya.
“Iya. Dia kan memang alim banget. Dia dari fakultas teknik. Orangnya memang amanah. Udah gitu baik dan ramah gitu deh.”
“Oh, gitu ya. Terus – terus?” tanya Dinda ingin tahu.
“Wah jangan - jangan kamu naksir dia ya?” celetuk Riska sambil menggoda Dinda.
“Ah, enggak kok. Aku cuma ingin tahu orang yang udah ngembaliin kartu ATMku ini. Itu aja.”
“Yakin nih? Hehehe.... ya udah aku ceritain sambil pulang yuk.”
Kemudian mereka kembali menyusuri jalan setapak kampus.
Sepanjang perjalanan Riska terus menceritakan tentang Amsar dan bagaimana kesehariannya. Dinda hanya manggut – manggut mendengarnya. Sesekali dia bertanya tentang hal yang tidak dijelaskan detail tentang Amsar kepada Riska. Lalu Riska pun menjawab pertanyaan tersebut sambil terus menggoda Dinda. Akhirnya mereka berdua pun sampai di rumah mereka masing –masing.
Sesampainya di rumah, Dinda semakin penasaran dengan Amsar. Masih banyak hal yang ingin dia ketahui dari Amsar. Belum lagi kalimat terakhir dari Riska yang membuatnya semakin penasaran.
“Kalo kamu cuma sekedar ingin tahu tentang dia sih boleh – boleh aja. Tapi jangan terlalu berharap sama dia aja. Nanti kamu juga tau sendiri alasannya apa.”
Hal ini lah yang membuat Dinda semakin penasaran dengan Amsar.
====================================================
Keesokkan harinya Dinda berusaha untuk lebih bisa berkenalan dengan Amsar. Dia berhasil mendapatkan nomor HP Amsar dari Riska. Selain itu dia juga sudah meng-add Amsar sebagai temannya di Facebook. Kemudian dia mulai dari sekedar menyapanya, mengiriminya SMS, dan beberapa kali mengajaknya chatting. Namun hampir tidak ada balasannya. Sekalipun jika di balas, itu hanya seperlunya dan sangat singkat. Jika bertemu dan menyapa pun, Amsar hanya membalas sapaan tersebut dan kemudian pergi meninggalkan Dinda.
Beberapa lama kemudian Dinda mulai sedikit mengerti setelah banyak mencari tahu tentang Amsar. Ternyata Amsar itu terkenal sebagai orang yang ramah kepada siapa saja. Dia juga termasuk lelaki yang murah senyum kepada siapa saja. Dia juga senantiasa membantu teman – temannya yang kesulitan. Hanya saja bagi Dinda, seorang Amsar masih menjadi sosok yang seakan menyimpan segudang misteri. Masih banyak hal yang ingin dia ketahui dari seorang Amsar.
Semakin banyak mengetahui tentang Amsar membuat Dinda semakin tertarik kepadanya. Namun setiap kali ingin mengobrol berdua dengan Amsar, selalu saja Amsar hanya membalas dengan senyum kecil dan pergi meninggalkannya. Hal itu membuat Amsar semakin miterius dan mengundang keingintahuan yang lebih besar juga.
Suatu ketika Dinda mendapati Amsar sedang duduk membaca buku di taman Kampus. Akhirnya dia mencoba memberanikan diri untuk berbicara langsung dan bertanya tentang sikap Amsar kepadanya.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Eh, Dinda. Ada apa ya?” tanya Amsar agak terkejut.
Kemudian Amsar bersiap untuk pergi dari sana.
“Eh, tunggu! Tolong jangan pergi dulu. Aku ada beberapa hal yang ingin ditanyain ke kamu.”
“Kenapa sih kamu kalo diajak ngobrol pasti aja mau langsung kabur gitu? terus kalo jawab juga pasti cuma sekedarnya. Mana singkat banget lagi.”
“Ya enggak kenapa – kenapa kok sebenarnya. Kan kurang baik juga jika mengobrol hanya berdua saja.”
“Tapi kan ini cuma ngobrol doang. Masa gitu aja gak boleh sih?”
“Ya dalam Islam kan ada aturannya tersendiri.”
“Iya memang, tapi apa harus fanatik kayak gitu?”
“lho, justru ini namanya bukan fanatik. Tapi ini artinya menjiwai dengan hati.”
“Iya sih. Tapi apa memang harus kayak gitu ya?”
“Sekarang gantian saya deh yang tanya. Dinda Muslim kan?”
“Ya jelas lah kalo aku ini muslim.”
“Terus kenapa gak pakai jilbab? Jilbab itu wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram sebenarnya?”
“Ya wajib sih. Tapi kan yang penting itu hatinya. Bukan cuma yang kelihatan di luar aja. Buktinya banyak tuh orang yang pake kerudung tapi kelakuannya gak karuan. Kan justru lebih baik orang yang tidak pakai kerudung tapi bisa jaga sikap.”
“Bukankah lebih baik seorang wanita yang memakai jilbab dan menjaga kelakuannya.”
“Iya sih memang.”
“Nah, sekarang jika dilihat lagi. Untuk wanita berkerudung yang kelakuannya seperti itu. Dikembalikan lagi kepada orangnya sebenarnya. Yang salah itu orangnya atau kerudungnya? Lagipula jilbab itu adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslimah. Masalah orang berkerudung itu baik buruk kan bukan karena kerudung tersebut, tapi karena orang yang memakainya. Lagipula jika wanita itu sudah berjilbab, Insya Allah kelakuannya pun akan jauh lebih baik dibandingkan dengan tidak berjilbab.”
“Kok aneh sih. Sebentar bilang jilbab, sebentar bilang kerudung. Memang beda ya?”
“Insya Allah kalau Dinda mendalami kembali Islam itu seperti apa, maka akan mengerti sendiri perbedaan jilbab dan kerudung itu seperti apa.”
“Ya udah kalo gitu. Terus kenapa juga gak mau pegangan tangan sama perempuan. Padahal kan cuma pegangan aja. Gak lebih.”
“Itu kan karena memang dalam aturan Islam tidak diperbolahkan kecuali oleh mahram atau istri. Nah, sekarang coba Dinda milih deh. Kalau misal mau beli daging ayam, mending milih yang masih fresh dan baru atau milih yang sudah dipegang – pegang oleh banyak orang? Pasti milih yang masih baru kan? Karena itu yang paling spesial.”
“Ya iya lah. Masa milih yang bekas dipegang – pegang sama orang lain. malah gak meyakinkan kalo bekas orang lain.”
“Nah itu dia alasan lainnya. Kami pun ingin menikah dengan seseorang yang spesial. Tapi untuk bisa menikah dengan orang seperti itu, ya kita juga harus bisa menjadi orang yang spesial bagi mereka.”
“Tapi kan kalo misal dilihat lagi, banyak tuh aksi teror bom yang mengatasnamakan Islam. Apakah memang seperti itu ya?”
“Sekarang selama Dinda sendiri belajar Islam, pernah diajarin tentang yang seperti itu gak?”
“Gak pernah.”
“Nah, berarti itu bukan dari Islam. Kan jelas jadinya. Itu jadi bukan dari Islam.”
“Terus mau tanya lagi dong. Kenapa kok kalau sama lawan jenis kok kayaknya sensi banget sih. Misalnya aku mau ngobrol berdua gitu, kok kayaknya langsung menjauh sih.”
“Ya karena itu kan agar lebih bisa mejaga hati.”
“Maksudnya?”
“Setiap orang pasti punya ketertarikan dengan lawan jenis. Maka kita harus menjaga hati kita sendiri agar ketertarikan tersebut tidak mengarah pada nafsu yang akhirnya bisa berujung pada kemaksiatan.”
“Terus kalau kayak gitu, gemana caranya coba bisa dapat istri kalau terus menjauh gitu?”
“Kan ada tahapan saling mengenal yang namanya Ta’aruf.”
“Sama kayak pacaran kan itu artinya.”
“Beda. Jika Ta’aruf itu tetap dihadapan mahram. Jadi tidak hanya berdua saja. Kan jika berdua nanti tidak ada yang mengingatkan batasan – batasannya. Jadi tetap diawasi. Sedangkan jika pacaran itu malah tidak jelas.”
“Lho, tidak jelas bagaimana?”
“Sekarang apa hal yang awalnya tidak boleh dilakukan ketika tidak berpacaran dan menjadi boleh dilakukan setelah berpacaran? Kemudian apa juga hal yang awalnya boleh dilakukan ketika tidak berpacaran menjadi tidak boleh dilakukan setelah berpacaran?”
“Ya gak ada sih.”
“Nah, dari sana saja sudah tidak jelas. Lagipula jika proses ta’aruf itu maka hal kemudian adalah khitbah. Ya mungkin banyak yang mengatakan tunangan lah. Kan setelah tunangan tidak boleh menerima pinangan dari pihak lain. Sehingga ada bedanya.”
“Iya sih memang. Tapi apa memang bisa mengenal calon pasangan kita dengan baik jika hanya seperti itu?”
“Insya Allah bisa. Lagipula yang dinilai pertama pasti agamanya. Karena dari agama itulah semua aturan bermula.”
“Tapi bagaimana jika ternyata orang tersebut tidak kita cintai?”
“Mencintai itu ada dasarnya. Dan seorang muslim sejati pasti hanya mencintai dengan dasar agamanya. Jika agama itu hilang, maka hilang pula alasan mencintai tersebut. Hati pula harus berdasar pada agama. Jangan sampai hati kita hanya berdasar pada nafsu. Dan saya juga telah berjanji untuk mencintai siapa saja yang akan menjadi istriku nanti.”
“Oh, begitu ya. Ya semoga saja aku yang menjadi istrimu nanti.” Jawab Dinda lirih.
Baik Dinda maupun Amsar terkejut dengan kata – kata Dinda barusan. Dinda sendiri tidak sadar dirinya berucap demikian. Amsar dan Dinda kini terdiam. Tiba – tiba terdengar suara adzan Ashar.
“Oh, ya sudah Dinda. Sudah ashar juga. Mari sholat dulu. Saya duluan ya. Assalamu’alaikum.”
“Oh, eh, iya. Wa’alaikumsalam.”
Lalu kemudian Amsar beranjak pergi menuju masjid kampus. Namun Dinda masih terdiam terpaku. Dia masih terkejut dengan kata – kata terakhir yang diucapkannya tanpa sadar. Dia menyesali perkataannya itu. Seharusnya memang dia tidak berucap demikian. Entah apa yang akan terjadi ke depannya setelah ini.
“Huft..... kenapa juga tadi aku ngomong kayak gitu. Apa iya ya kalau aku suka sama Amsar? Tapi apa dia mau ya sama aku. Walau aku punya prestasi yang bagus, tapi dari kata – katanya dia lebih condong pada gadis sholeh. Tapi apa aku mampu ya jadi seperti itu? Apa aku bisa ya?”
Dinda masih terpaku di taman paku. Dia masih merenungi pembicaraannya dengan Amsar tadi. Tak lama kemudian dia kembali menyusuri jalan setapak kampus dengan raut wajah penuh kecemasan.
“Entahlah apa yang akan terjadi ke depan.” Gumannya lirih.