Minggu, 30 September 2012

Pena dari Kanvas Hidup ini


Setiap masa memiliki kenangan tersendiri. Entah itu akan menjadi indah, atau akan menjadi buruk. Namun masa – masa itulah yang membentuk kita kini. Setiap masa yang telah ditapaki itu kini menjadi jejak langkah. Entah akan ada yang mengikutinya ataupun tidak. Namun setiap orang memiliki jejak masing – masing. Walau tempat akhirnya sama, belum tentu jejak itu akan sama dengan jejak yang ditapaki oleh orang lain. Dan jejak itu selamanya tak akan pernah terhapus.

Setiap masa, setiap jejak, setiap kenangan, tak ada yang akan berubah. Semuanya memiliki andil dalam membentuk karakter diri. Kadang ada hal yang tergantikan karena masa itu telah habis dan dimulai masa yang baru. Kadang pula justru terikat dengan masa yang sulit dan berat untuk melangkah memulai sebuah tapak baru. Ingin segera memulai sebuah masa yang baru tapi tak bisa lepas dari masa lalu.

Terikat dengan masa lalu. Yap, mungkin ini yang sebenarnya menggambarkan diri ini. Goresan pena kehidupan itu masih belum diangkat. Walau kini pena baru turut menggores lembaran kanvas ini. Hingga gambar yang terbentuk tak sepadan dan acap bertabrakkan. Tidak bisa fokus membuat sebuah lukisan hidup yang indah memesona. Tapi tetap ada pena yang sering menyeruak garis pena lain dan menyebabkan dualisme lukisan. Tapi inilah lukisanku. Inilah hidupku.

Tak banyak orang yang melihat kesemua pena yang melukis hidupku kini. Yang terlihat mungkin hanya sebuah pena baru untuk yang sedang melukis masa depan.  Tapi pena masa lalu ini tetap mengukir. Tak banyak yang tahu tentang pena ini. Dan tak banyak pula yang memperhatikannya. Tapi pasti akan jelas terlihat nanti ketika seluruh lukisan ini mulai bertabrakkan dan menjadi satu. Bukan lukisan yang diekspektasikan banyak orang pastinya. Dan hasil yang ditampakkan pasti di luar perkiraan.

Lukisan ini mulai padu. Pada akhirnya akan membentuk sebuah karya yang bernama “hidupku”. Seandainya bisa kutarik pena masa lalu ini agar aku bisa melukis semua seperti apa yang terlihat. Entah harus kusesali atau entah bagaimana. Seharusnya pena ini tak pernah melukis kanvas hidup ini. Karena tak jua terangkat atau sekedar untuk menepi. Tapi di sisi lain pena baru sudah melukis hidup ini. Semua tentang hidupku pasti akan terlihat nanti. Namun apakah mereka akan tetap melihat pada lukisan yang sama? Atau perhatian mereka terfokus pada lukisan lama yang tak pernah mereka perhatikan sebelumnya.

Memang sudah seharusnya aku tidak memulai pena baru ini. Tak menjalani hidup sebagai panutan bagi orang lain. Ketika mereka sadar siapa diri ini, semoga tidak membuat mereka patah arah juga. Aku tidak berharap untuk diterima dan dimaklumi. Toh seiring dengan waktu yang bergulir semua juga akan berjalan sebagaimana mestinya.

Aku tidak berharap mereka akan memiliki persepsi yang baik terhadapku pula. Kenyataan yang terlihat justru sebaliknya. Aku tidak akan mempermasalahkan itu. Bahkan untuk setiap dari apa yang pernah dilakukan, aku justru senang karena mereka masih peduli padaku. Walau memang semenjak dulu tak pernah bisa menceritakan semuanya. Seandainya aku memang tidak pernah ada bersama kalian. Dan semoga memang nantinya tidak ada yang terlibat dalam goresan hidupku kelak. Pasti semuanya akan aku akhiri. Pena ini tak seharusnya melukiskan kembali lukisan yang tidak ingin aku lihat lagi. Namun tetap aku harus menggoreskan kembali pena ini. Ya benar, hanya sekedar untuk goresan akhir saja. Sekedar untuk mengakhiri lukisan yang tidak ingin ditampakkan. Walau harus menepikan semua pena yang ada itu tak jadi soal. Aku hanya ingin mengakahiri semuanya. Sebelum semua menjadi terlambat. Sebelum semakin banyak yang terlibat. Sebelum dampak ini akan semakin nyata bagi yang lain. Maka aku harus bergegas.

Minggu, 23 September 2012

Ohayou - Lyric

Tanomi mo shinai no ni asa wa yatte kuru mado o
akete chotto fukaku shinkokyuu
fukurettsura no kimi omoi dashite warau
kenka shita yokujitsu wa rusuden ni shippanashi daro
waraiau koto nanigenai kaiwa
mainichi no kurashi no naka de dou datte ii koto
nani mo kangaezuni ukande kuru kotoba fu to shita
shunkan ga taisetsu datte
kimi ni ohayou tte itte messeeji o nokoshite
boku no ichinichi hajime ni dekakenakya marude nani
mo nakatta mitai ni
denwa shite kuru kimi no koe ga suki nanda

bukiyou ni natte ita nani ga jama shite
atarimae na koto ga futoumei ni natte
boku yori mo boku no koto o umaku aiseru no wa
kimi shika inain datte wakatte kuyashikattan dake do
sennyuukan tte jibun ni mo aru ne douse dame sa nante
jibaku mo sezuni
furidashi ni tatte tohou ni kurete mo hajime no ippo
sukuwarete miru

* kimi to kata o kunde kimi to te o tsunaide
koibito dattari tomodachi de itai kara
ohayou tte itte mata yume o misete
shizen na sono ikikata de ii kara sa

minarete ita kimi no hen na ji mo daiji na kotoba
kaku to shinsen ni mieru
sunao ni narenai sunao sa nanka ja kimi ni nanni mo
tsutawaranai
mata ohayou tte itte mata yume o misete
kyou mo genki de sugosetara ii yo ne
konna ni tanjun de atarimae na koto ga hontou wa
ichiban miushinaigachi dakara ne

me o aketa mama miru yume shiranai ashita e hakobu
Merry-go-round goes

Kamis, 16 Agustus 2012

Begitulah Seharusnya Engkau Terlihat


Saat melihatmu kembali setelah lama, tanpa sadar memang banyak sudah yang terlihat. Keanggungan diri dalam balutan jilbab, menggambarkan seorang muslimah yang siap untuk menjemput hidayahNYA. Keteduhan dan sorot mata yang telah berubah seiring dengan perubahan sang waktu. Dan orang – orang di sekitarmu pun pasti akan merasa segan dan takjub dengan itu.
Teringat beberapa tahun yang lalu, ketika memang dirimu masih belum begitu paham. Dengan kerudung yang kau kenakan, menjadi ciri bahwa dirimu seorang muslim. Namun entah kenapa serasa masih ada yang kurang untuk menguatkan ciri itu. Ah, iya benar. Sepertinya ada sebuah ‘ruh’ yang hilang pada saat itu. Sebuah ghirah yang sebenarnya ada akan tetapi perlu dipupuk dengan baik.
Waktu demi waktu kian terlewati pula. Sedikit demi sedikit ghirah itu mulai terbentuk dan nyata. Ilmu yang kau kejar akan membawamu dalam keteduhan para pecinta. Iman itu kian tersemat dalam dadamu. Hingga ia senantiasa menghiasi hari – harimu.
Kini hijabmu telah kau miliki. Jilbabmu tak lagi kau tanggalkan. Tak ada lagi lekuk tubuh yang sengaja diperlihatkan. Begitulah seharunya engkau terlihat. Sebagai seorang muslimah yang menjaga dirinya. Yang menutup perhiasan dirinya. Setiap yang memandang mungkin juga akan merasa malu. Malu karena sungguh mata ini tak layak untuk mengumbar panah setan ke segala penjuru. Dan itulah justru yang menundukkan anak panah ini.
Wanita dalam Islam memang ibarat mutiara. Semakin ia menutup diri di dasar lautan, semakin berharga pula mutiara itu. Tetaplah istiqomah dengan apa yang menjadi peganganmu sekarang. Apa yang sudah menjadi loncatan besar dalam hidup harus dilanjutkan. Karena langkah itu tidaklah berhenti di sini. Masih banyak hal yang harus diraih di dunia ini. Namun tetap diri juga akan istiqomah untuk tidak berjilbab hingga saat ini.

Begitulah Seharusnya Engkau Terlihat


Saat melihatmu kembali setelah lama, tanpa sadar memang banyak sudah yang terlihat. Keanggungan diri dalam balutan jilbab, menggambarkan seorang muslimah yang siap untuk menjemput hidayahNYA. Keteduhan dan sorot mata yang telah berubah seiring dengan perubahan sang waktu. Dan orang – orang di sekitarmu pun pasti akan merasa segan dan takjub dengan itu.
Teringat beberapa tahun yang lalu, ketika memang dirimu masih belum begitu paham. Dengan kerudung yang kau kenakan, menjadi ciri bahwa dirimu seorang muslim. Namun entah kenapa serasa masih ada yang kurang untuk menguatkan ciri itu. Ah, iya benar. Sepertinya ada sebuah ‘ruh’ yang hilang pada saat itu. Sebuah ghirah yang sebenarnya ada akan tetapi perlu dipupuk dengan baik.
Waktu demi waktu kian terlewati pula. Sedikit demi sedikit ghirah itu mulai terbentuk dan nyata. Ilmu yang kau kejar akan membawamu dalam keteduhan para pecinta. Iman itu kian tersemat dalam dadamu. Hingga ia senantiasa menghiasi hari – harimu.
Kini hijabmu telah kau miliki. Jilbabmu tak lagi kau tanggalkan. Tak ada lagi lekuk tubuh yang sengaja diperlihatkan. Begitulah seharunya engkau terlihat. Sebagai seorang muslimah yang menjaga dirinya. Yang menutup perhiasan dirinya. Setiap yang memandang mungkin juga akan merasa malu. Malu karena sungguh mata ini tak layak untuk mengumbar panah setan ke segala penjuru. Dan itulah justru yang menundukkan anak panah ini.
Wanita dalam Islam memang ibarat mutiara. Semakin ia menutup diri di dasar lautan, semakin berharga pula mutiara itu. Tetaplah istiqomah dengan apa yang menjadi peganganmu sekarang. Apa yang sudah menjadi loncatan besar dalam hidup harus dilanjutkan. Karena langkah itu tidaklah berhenti di sini. Masih banyak hal yang harus diraih di dunia ini. Namun tetap diri juga akan istiqomah untuk tidak berjilbab hingga saat ini.

Senin, 14 Mei 2012

Sekelumit Rasa Rinduku....

Tanpa terasa kuliah saat ini telah memasuki tahun ke – 3 dan hampir menuju akhir pula. Dan tidak terasa juga hampir 3 tahun meninggalkan masa – masa yang menyenangkan selama berada di SMA. Rasa haru dan rindu pun kini terbentuk kembali. Entah bagaimana kabar sahabat – sahabat ku di sana kini. Diri ini yang telah jauh melangkah mencari pengalaman diri sepertinya sangat jarang untuk bisa kembali dan menyapa bagian kecil hatinya itu.

Masih teringat jelas ketika pertama kali memasuki gerbang SMAN 14 Bandung itu sebagai siswa baru. Dari sana mulai terpikir akan mengikuti beberapa ekstakulikuler ternama. Sempat terpikir untuk mengikuti basket kembali atau mencoba sesuatu yang baru. Hingga beberapa pekan belum juga bisa untuk memutuskan bergabung dengan salah satu ekstrakulikuler pula. Hingga akhirnya ada saran dari seorang teman untuk mengikuti ekstrakulikuler DKM. Entah apa itu kepanjangannya, namun sepertinya cukup menarik juga. Akhirnya tanpa pikir panjang lagi mencoba memantapkan hati mengikuti DKM.

Pada awalnya sempat merasa aneh juga. Kok ekstrakulikuler ini kumpulnya di Masjid. Mungkin, karena memang gak ada tempat lain kali. Itu yang pertama kali terpikir juga. Namun, setelah mengikuti kegiatan pertama, barulah sadar ternyata dijebak untuk mengikuti kegiatan keislaman di SMA. Hingga akhirnya setelah kegiatan pertama itu muncul teriakan kecil dalam hatiku. “Apa yang sebenarnya aku lakukan di tempat ini? Mau ngapain gue di sini? Ini bukan tempat gueee!!!!!!!!”. Ya, karena memang gemana bisa masuk ke organisasi keislaman, orang sholat aja kadang masih belum bener. Kadang masih belang juga sholatnya. Terus, ngapain juga ada di sana? Masa cuma jadi orang gak jelas juga. Akhirnya terbesit keinginan untuk keluar juga. Namun sekali lagi, seorang sahabat ku di luar memintaku untuk setidaknya ada 1 semester saja di DKM. Sayang kalau langsung keluar katanya. Dan itu pula yang aku coba ikuti.

Ketika coba untuk menjalani “kehidupan gak jelas” di DKM, dan mulai mencoba untuk membiasakan diri pula. Tidak disangka pula bisa bertemu dengan kawan – kawan yang luar biasa di DKM ini. Mulai dari Zikra, Razan, Ahmad Puguh, Grantino, Ika, Endah, Azzizah, Enung, Nurfida dan yang lain luar biasa pula. Semua memiliki ciri khas dari diri masing – masing. Dan semua bisa menciptakan suasana yang bisa membuat betah pula. Canda dan tawa senantiasa ada ketika kita bersama. Belum lagi karena ada kakak – kakak dan mentor yang luar biasa pula. Benar – benar bisa membuat betah deh.

Dan masih ingat pula ketika pertama kali masuk, langsung serasa bermusuhan dengan salah satu orang geje bernama Endah Katikasari. Ya hanya karena sebuah candaan yang mungkin kelewat batas di telepon juga sih, akhirnya kita jadi bermusuhan ya. Tapi akhirnya justru dari itu semua bisa jadi akrab pula. Sempat juga ada sedikit masalah dengan Azizah. Masih ingat ketika berjalan berpapasan, Azizah sudah berniat menyapa juga. Tapi aku justru acuh dan berlalu saja di depannya. Terus terang aja sebenarnya gak terlalu ingat juga klo sama muka. Apalagi waktu di jalan. Karena takut salah orang dan agak malu juga, akhirnya ya Cuma lewat aja. Eh, ternyata memang benar orangnnya yang itu. Dan ternyata tidak terima juga sih. Akhirnya kena dampaknya juga deh. Maaf ya Azizah

Dan setelah beberapa lama bersama, boleh diakui juga sih klo memang kita akhirnya bisa semakin akrab. Aku, Zikra, Puguh dan Grantino berbasis di kelas X – C. Sementara Azizah, Endah, Nurfida dan Tiya ada di kelas X – D. Sementara itu Ika di X – E, Razan dan Enung berbasis di kelas X – H (klo gak salah ini juga. Maaf ya klo salah ). Tapi tidak menyurutkan kita untuk bisa selalu berbagi bersama juga. Dan diakui juga, ada benih – benih virus merah jambu yang muncul saat itu. Gak Cuma 1 orang juga lho itu. Hayooo sapa aja ya itu.... hehehehe....Tapi dari semua itu, kita bisa tetap bersama juga. Terbukti ketika rihlah ke situ lembang, benar – benar menyenangkan juga. Sangat berkesan dan itu pertama kali jalan kaki dengan jarak ektra jauh. Tapi karena bersama kalian semua terasa ringan dan menyenangkan. Memang tidak semua ada di sana. Sangat disayangkan karena jika ada di sana semua pasti lebih rame dan geje juga nantinya.

Ingat juga ketika ada bakti sosial di tempat yang entah dimana itu, kita juga bisa bersama. Walau saat itu liburan, tapi tetap dari kita ada yang hadir juga. Tapi sayang Cuma sedikit sih. Yang penting tetap bisa bersama. Ingat ketika berangkat ada di mobil milik Razan. Tapi kenapa malah aku yang ada di kursi belakang bareng sama yang cewek – cewek. Padahal cowok lain ada di depan. Ya udah gak apa – apa juga. Toh di belakang juga enak malah dapet makanan juga. Tapi pulangnya malah yang cowok yang ditumpuk di belakang, sampai akhirnya agak lega setelah kang Gatot dipindah ke tengah.

Masuk tahun ke – 2, kelas kita terpencar kembali. Dan sangat disayangkan justru Zikra dan Razan harus pindah sekolah. Padahal kalian berdua benar – benar memiliki potensi untuk DKM ke depan juga. Tapi justru pindah ke sekolah lain. Lalu kelas kita juga tersebar. Endah ada di XI IPA 1. Aku, Nurfida dan Ika ada di XI IPA 2. Azizah dan Enung ada di XI IPA 3. Tiya ada di XI IPA 4. Puguh dan Grantino ada di XI IPS 1. Dan sepertinya aku satu – satunya cowok DKM di kelas XI yang ada di jurusan IPA nih. Tapi gak apa – apa deh. Toh setiap pulang sekolah juga kita selalu ngumpul di masjid lagi. Kita masih bisa bersama.

Ketika kelas XI ini banyak sekali kejadian lucu juga. Masih ingat ketika awal kita akan latihan nasyid, lalu ketika semua belum datang akhirnya aku iseng aja tidur di balik mimbar masjid. Ketika yang lain datang dan siap untuk mulai latihan, malah bingung nyari aku dimana. Dan dengan muka polos, keluar dari balik mimbar dengan muka setengah ngantuk juga. Jujur aja agak sedikit malu juga bro, tapi bisa menjadi kenangan kita juga.

lalu ketika ada kompetisi nasyid tingkat kota Bandung. Kita berhasil jadi juara 4 dan 5 kan. Kurang luar biasa apa coba (karena memang Cuma ada 5 kontestan dalam kompetisi tersebut juga). Ya tapi biar bagaimana pun kita tetap masuk 5 besar jgua lho. Ya walau akhirnya bisa keluar dengan surat izin yang sebenarnya sudah kadaluarsa juga tuh. Hehehe...

Ketika pemilihan ketua DKM juga, sempat ada konflik diantara kita juga. Puguh yang terkesan emosional, aku sendiri yang memang terlihat ambisius, serta Grantino yang adem ayem. Akhirnya ada 2 kandidat yaitu aku dan Grantino. Sebenarnya masing – masing dari kita juga sudah sama – sama menolak juga. Hingga akhirnya Grantino lah yang terpilih menjadi ketua saat itu. Bersyukur juga karena yang jadi ketua justru bukan aku. Tapi maaf ya Grantino karena biar kamu ketua tetap aja sering aku suruh – suruh. Udah gitu mau juga.

Dan teringat juga sempat terasa jenuh ada di dalam DKM. Maaf kawan – kawan, mungkin itu hanya karena aku sedang futur saja. Hingga nekat sampai membuat surat pengunduran diri dari DKM. Tapi setelah berdiskusi dengan Kang Purnomo, alhamdulillah serasa mendapat semangat baru untuk tetap berada di dalam DKM kembali. Dan siap juga untuk terus berjalan bersama sahabat – sahabatku yang aku cintai ini.

Hanya sayang, maaf karena ketika kelas XII justru aku mulai tidak aktif. Hal itu memang dikarekan dari orang tua sendiri meminta untuk mengurangi aktivitas di DKM. Padahal separuh dari hati ini jujur masih ingin bersama kalian juga. Tapi kondisi membuat semua itu jadi terasa tidak mungkin juga. Akhirnya hanya pada saat – saat tertentu saja aku bisa bersama kalian lagi. Rasanya kangen dan ingin terus bisa ngumpul – ngumpul lagi. Tapi semua sepertinya sibuk deh. Hingga akhirnya kita sepertinya hanya bisa berkumpul pada waktu sholat dhuha dan sholat dzuhur saja. Tapi semua itu tidak menyurutkan kenanganku bersama kalian.

Kembali ke masa sekarang. Saat ini aku ada di ujung timur pulau jawa. Terpisah dari kalian saudara – saudariku semua. Rasanya sepi di sini. Ingin rasanya kita bisa bersama lagi. Berbagi canda, tawa dan cerita kembali lagi. Mengulang kisah – kisah dulu. Dan kembali mengukir cerita baru bersama. Maka dapatkah kita berkumpul bersama lagi? Setidaknya sekali lagi untuk mengukir kenangan baru kita. Karena jujur saja saat ini aku merindukan kebersamaan kta dulu. 3 tahun di sini tanpa kalian. Terpisah jauh dan hanya bisa kembali setidaknya 6 bulan sekali. Sungguh memang rasa rindu itu kian menumpuk dalam dada ini. Ingin rasanya ketika kembali bisa melihat secercah senyum di wajah kalian kembali. Itu cukup untuk membuat hatiku sedikit terobati. Namun aku juga sadar masing – masing dari kita memiliki kesibukan masing – masing. Tapi tidak bisa kah kita kembali berkumpul bersama lagi?

Aku sadari saat ini memang kita berada di tempat yang terpisah – pisah. Namun tidak berarti hati kita juga terpisah bukan? Justru aku harap kita bisa semakin kuat dan silaturahmi kita bisa berjalan. Aku tida bisa mengetahui dengan pasti bagaimana kondisi kalian saat ini. Bahkan kabar yang ada pun hanya tersiar sangat sedikit pula. Apakah kalian juga merindukan saat – saat itu? Apakah kalian saat ini baik - baik saja? Apakah kita masih ada di langkah yang sama? Semua itu menjadi pertanyaan besar dalam benakku ini. Karena itu pula dalam doa aku panjatkan kebaikan dalam diri kita semua. Ya, karena ada di DKM dulu kita bisa bersama. Karena ada di jalan-Nya aku bisa mengenal kalian semua. Karena itu aku sangat bersyukur pernah ada dan menjadi bagian dalam DKM SMAN 14 Bandung. Dan karena itu pula aku yakin. Saudara – saudariku semua, AKU MENCINTAIMU KARENA ALLAH......

Surabaya, 14 Mei 2012

Rabu, 09 Mei 2012

permata indah nan jernih

meniti butiran di kelopak mata

menanti saat mereka untuk terjatuh

bukan karena terpaksa

dan bukan karena ingin terjemput


mengalir arus mengarungi lembah

mengikis setiap tebing qolb ini

berderai tanpa mengucap kata

berdesakan tanpa mengurai suara


tersemat sebuah madah

dalam kenangan berjuta rasa

hanya diri dan Tuhannya yang mengetahui

apa arti dari semua permainan hati ini

yang mencari dalam setiap lelah



Minggu, 08 Januari 2012

Di Perjalanan Menjelang Pagi

            Lelah rasanya diri ini dengan beban tugas yang menerpa. Kala tugas itu harus dikerjakan semalaman, dan tetap belum saja sempurna dikerjakan. Namun apa daya, tubuh ini telah menolak untuk melanjutkannya. Maka akhirnya aku tinggalkan sejenak tugas ku dan mulai melangkah menghindar.
            Kini sudah hampir pagi. Sepertinya masih ada waktu sejenak untuk beristirahat. Kususuri lorong lantai 3 kampus ku, menjauh dari labratorium tempat ku mengerjakan tugas. Selangkah demi selangkah menuruni anak tangga. Sekilas terlihat rembulan sedang tersenyum kepada ku. Tetap ramah dengan purnamanya, dan indah dengan cahaya.
            “Sekarang sudah hampir pagi. Lebih baik istirahat di mushola. Ketika subuh nanti pasti ada yang membangunkan.” Guman ku.
            Kini aku melangkah menuju mushola untuk beristirahat. Ditemani seekor kucing kecil yang dengan manja terus mengikuti langkahku. Rembulan pun tak malu untuk terus tersenyum kepadaku. Dan angin malam semilir mengiringiku. Entah mengapa semua hal itu membuat kedua mataku yang tadinya lelah dengan segala aktivitas yang ada, kini menjadi segar kembali. Tanpa terasa senyum kecil mengukir bibirku.
            Karena mataku tidak lagi merasakan kantuk, timbul keinginan untuk bisa bermunajat kepadaMU malam ini. Tapi entah mengapa rembulanMU di langit cerah ini seakan menarik diriku. Dan angin malam menggugah semangatku untuk terus menikmati suasana ini.  Entah mengapa keputusan ku berubah menjadi berjalan – jalan di tengah kesunyian 1/3 malam ini.
            Aku nyalakan sepeda motor ku. Bersiap mengarungi malam bersama sahabat setia ku. Ya, sahabat yang selalu mengiringi langkah ku mulai ketika aku berada di Bandung dulu. Kota yang penuh perjuangan. Dimana aku memulai langkah ku kini. Mulai merasakan indahnya jalan yang diterangi cahaya. Awal dari pencarian arti diri ini. Dan seiring laju ku menembus angin, pikiranku terbang melintasi ruang dan waktu. Mengenang kembali yang telah lalu.
            Dalam perjalanan ini terasa ada yang berbeda. Dahulu ketika mengendarai motor di tengah malam, selalu saja kaca spion itu aku putar ke depan. Alasannya karena takut apabila ada sesosok bayangan wanita yang ikut menumpang motor ku terlihat dari spion. Tapi kini aku sudah tidak begitu mempedulikannya. Ada atau tidak yang mau menumpang, toh aku juga tidak mau mengantarkan dia. Aku memiliki tujuanku sendiri.
            Semilir angin kini kian terasa dingin. Seakan menyelimuti tubuh ku yang lemah ini. Tapi itu yang membuat diri ini kian merasa senang. Balutan lembut dari angin gunung yang selalu dirindukan bisa sedikit terobati. Belum lagi rembulan masih tetap tulus tersenyum pada ku malam ini. Maka tanpa ragu aku pun membalas senyumnya.
            Tiba di persimpangan jalan, terlihat lampu lalu lintas berwana merah. Memang keadaan saat itu sangat sepi. Sehingga sepeda motor di belakang ku terus saja melaju tanpa mempedulikan aturan yang berlaku. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Toh sang bulan pun masih juga tersenyum saat ini.
            Sambil menunggu lampu berubah menjadi hijau, aku memperhatikan sekeliling ku. Tampak seorang agen koran sedang sibuk bersiap membagi koran kepada para loper koran jalanan. Ia memilah – milah koran mana yang harus dipersiapkan dan dikelompokkan. Dalam 1/3 malam terakhir ini, dirinya harus berjuang menafkahi keluarnya. Di tengah malam yang sunyi ini dia berjuang untuk mencari penghidupan. Sempat terbesit dalam benakku, apakah pernah selama ia menjadi agen koran untuk mengisi  1/3 malam terakhirnya dengan bermunajat kepada Sang Illahi? Ataukah berapa lama ia bisa berdiri dan beribadah di malam ini sehingga dirinya bisa bercinta dengan mesranya dengan Sang Illahi?
            Mungkin saat ini hatinya tengah menyesal. Ketika orang lain bisa menikmati lezatnya 1/3 malam terakhir bermesra dengan Sang Pencipta, dirinya harus memilah koran untuk disebar pagi harinya. Atau mungkin walau orang lain hanya tertidur dengan lelapnya, dirinya harus rela menahan kantuk demi sesuap nasi. Entah bagaimana perasaannya jika ia tahu bahwa dirinya tidak bisa menikmati lezatnya qiyamullail seperti orang lain.
            Hati ku mulai bergejolak. Entah apa jadinya jika dikemudian hari justru aku yang menempuh jalan seperti dirinya. Harus berjuang meninggalkan 1/3 malam dengan bekerja. Tapi perjuangannya tetap untuk umat pula. Ia harus berjuang dalam butanya pagi agar setiap orang bisa mendapatkan berita dan informasi yang aktual dan berimbang. Entah bagaimana jadinya apabila setiap agen koran tidak ada yang bangun pagi. Mungkin informasi itu akan sampai terlambat. Dan perjuangan agen koran untuk bekerja sejak dini hari tetap merupakan suatu hal yang mulia. Namun dalam hati ku tetap berharap agar aku tidak berprofesi demikian di suatu hari nanti. Entah apa jadinya 1/3 malam terakhirku nanti.
            Kini sepada motor ku terus melaju membelah jalanan. Angin malam tetap setia menjaga ku dari rasa kantuk agar tidak tertidur. Dan rembulan tetap tersenyum lembut mengiringi pejalanan ku. Walau kadang ia bersembunyi dalam rimbun pepohonan atau tingginya gedung yang menjulang di kota ini.
            Tak lama kemudian sampailah aku dalam sebuah pasar dadakan. Seakan badan jalan telah menjadi tempat untuk mencari sebagian dari rezekinya. Tampak orang – orang di sana sedang sibuk mempersiapkan dagangannya. Bahkan ada distributor yang baru saja datang di sana dan membagikan sayur mayur segar untuk dijual. Semua ini masih terjadi di 1/3 malam terakhir.
            Hati ku kini terusik lagi. Para pedangang kecil di pasar ini tak berbeda dengan agen koran. Di 1/3 malam terakhir harus bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. Dan kali ini jumlah mereka jauh lebih banyak dari agen koran. Yang membuat hati ku risau adalah, sebanyak ini kah jumlah orang yang tidak bisa menikmati lezatnya 1/3 malam itu? Padahal karunia, ampunan serta keutamaan lainnya dari 1/3 malam itu begitu tinggi. Tapi begitu banyak hambaMU yang terhalang untuk menikmatinya. Dalam hatiku berharap agar dikemudian hari nanti aku tidak termasuk yang demikian.
            Tetapi patut kita sadari pula, bahwa mereka seperti itu karena tuntutan dari kita juga. Ketika pagi hari pastinya kita menginginkan sayuran segar agar keluarga kita bisa menikmati sarapan dengan mudah. Coba bayangkan apabila para penjual sayur itu tidak berjualan di pagi hari? Mungkin tidak ada dari kita yang bisa menikmati sarapan. Mereka mengorbankan waktunya untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. Di pagi buta mereka sudah berjuang untuk bisa melayani umat dengan menyediakan kebutuhan kita. Meskipun harus mengorbankan 1/3 malam terakhirnya.
            Kini motor ku terus melaju membawaku ke sebuah jalan utama di kota ini. Sambil terus menikmati perjalanan ini, pikiran ku terus melayang memikirkan banyak hal. Lamunan ku terus memikirkan waktu berharga yang tersia – siakan dikarenakan kewajiban melayani umat dan demi menyambung hidup. Sungguh besar sebenarnya arti pengorbanan itu.
Namun tiba – tiba lamunan ku buyar begitu saja. Tanpa diduga ada sepeda motor dengan kecepatan tinggi menyalip ku. Suara motor tersebut sangat nyaring dan terkesan berisik. Sesaat ada sedikit kekesalan terhadap pengendara motor tersebut. Namun segera saja aku berikan sedikit senyuman ke arahnya. Toh bulan saja masih tetap tersenyum dengan tulus kepada ku. Mungkin dia sedang sangat terburu – buru. Bahkan saking buru – burunya, ia sampai lupa mengenakan helm dan hanya memakai kaos tipis di tengah malam ini. Lampu merah pun tak dipedulikannya. Sepertinya memang ada suatu urusan yang penting. Semoga saja demikian dan semoga dia tidak mengalami kecelakaan.
Sepeda motor ku terus melaju. Angin malam tetap menyelimuti ku. Menyejukkan diri segala yang tengah dirasakan. Dan sang rembulan terus memancarkan cahaya kelembutan mengiringi perjalananku. Senyumnya memberi kedamaian dalam hati ku.dan membuat perjalanan ini terasa sangat berkesan. Terus dan terus melaju menuju ujung kota ini.
Tiba – tiba ada sepeda motor yang berjalan mendekat ke arah ku. Semakin lama semakin mendekat. Hingga akhirnya tepat berada di sebelah ku. Ada 2 orang pemuda berboncengan di sepeda motor tersebut. Dan keduanya tidak ada yang mengenakan helm. Karena jaraknya yang cukup dekat, aku bisa melihat ekspresi wajah mereka, sorot matanya bahkan bau mulutnya. Dari sana saja aku sudah bisa menerka bahwa kedua sedang dipengaruhi alkohol. Sesuatu yang sangat aku benci apabila disalahgunakan.
Entah mengapa orang yang dibelakang mengeluarkan suatu benda yang agak panjang namun tidak terlihat jelas apa itu. Tiba – tiba orang tersebut langsung mengayunkannya ke arahku. Alhamdulillah aku masih bisa menghindarinya. Langsung setelah itu aku memaksa sepeda motor ku untuk mengeluarkan kemampuannya. Tapi ternyata mereka juga mengejarku. Akhirnya kejar – kejaran pun terjadi. Seperti sebuah balapan liar yang terjadi di pagi buta. Dengan sedikit gerakan mengecoh, akhirnya aku bisa lepas dari kejaran mereka walaupun sempat bersinggungan sedikit. Semoga saja mereka tidak apa – apa karena tidak memenuhi standar keselamatan. Namun aku juga tidak berniat berbalik untuk menolong mereka.
Dalam hati, aku berguman. Ternyata masih ada juga orang yang menyia – nyiakan 1/3 malam terakhirnya untuk hal yang sama sekali tidak bermanfaat. Padahal 1/3 malam terakhir itu begitu tinggi kedudukannya. Tapi masih juga ada yang membuang keutamaan 1/3 malam terakhir itu. Benar rugi orang tersebut. Bahkan amat sangat ruginya orang tersebut.
Sesaat setelah itu, aku kemudian terdiam sambil sepeda motor ku terus melaju kembali ke tempatku semula. Namun hati ini menjadi terdiam. Sesaat terasa sebuah rasa penyesalan yang begitu menyesakkan dada. Bahkan tanpa disadari, air mata ini mengalir membasahi pipi. Tubuh ini pun rasanya bergetar. Perasaan ku kacau balau. Apabila mengingat kembali semua yang dilihat di pagi ini, seakan penyesalan ini kian menjadi.
Banyak orang yang harus dengan rela mengorbankan 1/3 malamnya untuk bekerja atau melakukan hal lain selain bermunajat. Bahkan mereka harus mau merelakan lezatnya 1/3 malam terakhir untuk mencari rezekiNya, dan untuk umat pula. Sungguh apa yang mereka lakukan itu pun begitu mulia. Karena walau tidak bisa meluangkan waktunya untuk beribadah, tapi mereka bisa sangat bermanfaat bagi orang lain. Bahkan mereka dibutuhkan.
Di sisi lain, ada juga orang menyia – nyiakan 1/3 malam terakhir begitu saja. Kadang malah mengisinya dengan sesuatu yang tidak bermanfaat. Dan tidak sedikit orang yang berlaku demikian. Termasuk diri ini.
Sering rasanya 1/3 malam terakhirku aku habiskan untuk hal yang sedikit mengandung manfaat. Dan rasanya itu seperti sudah menjadi kebiasaan. Maka apa bedanya diri ini dengan dua orang pengendara sepeda motor tadi yang menghabiskan 1/3 malam terakhirnya dengan menegak minuman haram dan berusaha mencelakai orang lain. Sama – sama tidak bisa memanfaatkan waktu yang begitu tinggi kedudukannya. Sama – sama dalam kerugian. Bahkan mungkin diri ini jauh lebih rugi dari mereka. Mereka yang belum begitu paham dengan agamanya, dan mungkin tidak tahu tentang keutamaan 1/3 malam terakhir.
Tapi diri ini berbeda. Berbekal pengetahuan agama yang alhamdulillah diamanahkan oleh Allah, serta sedikitnya beban kita dalam menjalani hidup. Justru sering meninggalkan 1/3 malam terakhir atau bahkan melupakannya. Bahkan mengisinya dengan sesuatu yang tidak begitu berarti. Maka apakah diri ini sudah lebih baik dari mereka.
Untuk saudaraku seiman semua. Sungguh setiap dari kita telah mengetahui keutamaan dari 1/3 malam terakhir. Maka apakah kita akan menyia – nyiakannya begitu saja? Atau kita seakan tidak peduli dengan keutamannya itu? Sungguh begitu banyak orang yang tidak bisa menghabiskan 1/3 malam terakhirnya untuk bisa bermunajat, bermesra kepada Sang Pencipta. Mereka sebenarnya ingin bisa meluangkan waktunya pula. Tapi mereka tidak bisa melakukannya dan merasa menyesal. Maka tidak kah kita cemburu pada mereka? Padahal kita memiliki waktu yang begitu lapang di 1/3 malam terakhir kita. Tapi dengan apa kita mengisinya? Tidak kah kita merasa malu terhadap saudara kita yang lain. Saudara kita yang begitu berharap bisa meluangkan waktunya di 1/3 malam terakhirnya untuk bisa bermunajat kepada Allah.

**Sebuah renungan untukku. Semoga bisa bermanfaat untuk antum semua

Surabaya, 9 Januari 2012

Senin, 02 Januari 2012

Khoirunnas Anfa'uhum linnas

Add caption
Bismillahirrahmanirrahim....

Koper itu kini digenggamnya lagi. dengan langkah tegap ia berjalan menyusuri lorong bandara. Singapura, itulah tujuannya kini. setelah menyelesaikan beberapa masalah administrasi, kini ia bisa duduk dengan nyaman di kursinya dalam pesawat. berada di ruang VIP memang bisa membuatnya tenang dan kembali memikirkan tujuannya. menjadi lebih sukses dari orang lain dan menjadi lebih baik dari semuanya. itu ambisi pribadinya. dengan pakaian ber-jas mewah, sepatu bermerk dan berdasi, benar - benar mencerminkan seorang pengusaha. kini ia berharap orang yang duduk di sebelahnya nanti merupakan seorang pengusaha juga atau seorang yang jauh lebih baik darinya agar setidaknya ia bisa sedikit "mencuri" ilmu dan mengembangkan dirinya agar lebih baik lagi. sambil menunggu, ia kembali sibuk dengan Ipad nya sekedar untuk menjadwal kembali rencana kegiatannya di negeri seberang.

Tak lama kemudian ada seorang wanita tua duduk di sebelahnya. pakaiannya tampak lusuh dan udik. bahkan ia hanya memakai sendal jepit, padahal berada di kelas VIP. sejenak ia menyangka bahwa Ibu itu salah duduk. tetapi tidak ada pramugari yang menegurnya. itu artinya dia duduk di tempat yang benar. terbesit sebuah tanya bagaimana bisa seorang wanita tua yang sangat sederhana itu bisa berada di penerbangan VIP bersama dirinya. akhirnya karena didorong oleh rasa penasaran maka ia pun bertanya kepada wanita tersebut.

"Ibu, mau ke Singapura juga?"

wanita itu tampak terkejut. kemudian ia mengendalikan diri dan tersenyum.

"Iya Nak."
"Mau bekerja atau ... ?"
"Mau bertemu dengan anak saya di Singapura Nak. kebetulan Istrinya baru saja melahirkan anak kedua beberapa hari yang lalu. jadi saya ingin menengok juga."

sempat terbesit rasa penyesalan telah bertanya demikian. entah mengapa  ia berpikir bahwa Ibu itu seorang TKW. tapi sepertinya Ibu itu tidak terlalu memikirkannya dan tetap  tersenyum dengan pandangan menerawang ke depan.

"Oh begitu. Anak ibu bekerja sebagai apa di Singapura?"
"Katanya sih sebagai Permanent Resident gitu atau apa gitu istilahnya. yang jelas katanya dia sering gambar - gambar gedung gitu di sana."

sejenak dirinya merasa kagum dengan Ibu tersebut. walaupun dirinya terlihat berasal dari keadaan yang sangat sederhana, tapi anaknya bisa sukses dan berhasil di luar negeri. akhirnya ia jadi ingin lebih tahu lebih banyak lagi tentang anak - anaknya.

"Wah keren juga ya anak Ibu bisa jadi sukses seperti itu."
"Alhamdulillah Nak. Ibu juga senang anak - anak Ibu bisa pada berhasil semua."
"Memang anak Ibu yang lain sekarang dimana?"
"Anak Ibu yang ketiga sekarang udah jadi dokter syaraf gitu di Jakarta. terus yang keempat sekarang dapat beasiswa S2 di Belanda. katanya biar bisa jadi profesor atau apa gitu."

Kini dirinya semakin kagum pada Ibu tua tersebut. walau penampilan dan hidupnya sangat sederhana, tapi anak - anaknya sukses semua. tapi ada sesuatu yang mengganjalnya. dirinya jadi penasaran terhadap anak pertama Ibu tersebut.

"Terus anak pertama Ibu bagaimana?"
"Anak Ibu yang pertama cuma jadi petani aja di kampung. jadi dia yang menemani Ibu setiap hari."

terlihat mata Ibu tersebut sedikit berkaca - kaca. akan tetapi Ia tetap mengulum senyum di bibirnya. kini pandangannya sedikit tertunduk ke bawah.

"Maaf jika kata - kata  saya sedikit menyinggung Ibu. saya tahu bahwa anak Ibu yang pertama tidak bisa dibanggakan seperti anak Ibu yang lainnya. tapi anak Ibu yang lain semuanya luar biasa karena bisa sukses seperti itu."

"Tidak! justru sebaliknya. Ibu sangat bangga pada anak Ibu yang pertama. sangat - sangat bangga. sangat - sangat bangga..!!"

"Tapi bagaimana Ibu bisa bangga? bukankah anak Ibu yang pertama hanya menjadi petani biasa saja di kampung?"

"Justru itu Nak. sejak suami Ibu meninggal, anak pertama Ibu langsung putus sekolah dan menjadi petani. tapi dia tidak pernah memperbolehkan adik - adiknya untuk putus sekolah jgua seperti dirinya. bahkan dia selalu bekerja keras agar adik - adiknya semua bisa terus sekolah dan terus membiayai kebutuhan adik - adiknya. ketika adik - adiknya putus asa juga dia yang selalu mengirimi surat dan memotivasi adik - adiknya agar tidak menyerah dan terus berusaha. walaupun dia sendiri yang tidak pernah sampai sekolah tinggi seperti adiknya, tapi dia selalu ingin agar adiknya jadi lebih baik dari dirinya. bukan menjadi yang lebih dari adik - adiknya dan membiarkannya begitu saja. pokoknya Ibu sangat bangga pada anak Ibu yang pertama itu."

senyum lebar terlihat dari wajah Ibu tersebut. walau dari sinar matanya masih terdapat haru yang mendalam, tapi rasa kebanggaan itu tetap terpancar dari raut wajahnya.

sejenak kemudian pembicaraan itu terhenti. masing - masing dari mereka tenggelam dalam lamunannya sendiri. Kini pengusaha itu merenungi kembali ambisinya. dari awal ia hanya ingin agar bisa menjadi lebih dari orang lain. terus berharap agar orang lain jatuh sehingga dirinya bisa jadi lebih baik dari orang tersebut. bukan berharap untuk bisa membantu orang lain  dan mendorong orang lain agar bisa lebih daripada dirinya. bukan pula untuk berkorban banyak bagi orang lain. seseorang yang sangat sederhana sekalipun justru bisa memberikan manfaat yang sangat luar biasa untuk orang lain. entah mengapa dirinya kini merasa malu. malu karena belum berusaha untuk membantu orang lain secara maksimal. malu karena dirinya bahkan berada dalam keadaan yang jauh lebih baik.

kini dia pikirannya mulai terbang lagi ke arah lain. dia mulai melihat lagi jalan hidupnya yang telah ditempuh selama ini. adakah orang - orang yang telah berkorban banyak agar dirinya kini bisa berhasil? apakah dirinya pernah setidaknya berterima kasih kepadanya? atau sempat membalas jasanya?

entah mengapa kini pipinya basah. Ya, kini dirinya sedang menangis. merasa menyesal belum sempat membantu orang lain. tidak pernah memikirkan orang lain. tidak berusaha untuk bermanfaat bagi orang lain. padahal agar bisa sampai pada keadaan seperti saat ini, dirinya sering sekali dibantu oleh orang lain. saatnya merubah mindset diri dan merubah keegoisan dalam diri. berusaha untuk membalas dan bermanfaat bagi orang lain. itulah niatnya kini. bukan lagi berambisi untuk menjadi lebih daripada orang lain, tapi untuk bisa bermanfaat lebih daripada orang lain.

-Khoirunnas anfa'uhum linnas-