Lelah rasanya diri
ini dengan beban tugas yang menerpa. Kala tugas itu harus dikerjakan semalaman,
dan tetap belum saja sempurna dikerjakan. Namun apa daya, tubuh ini telah
menolak untuk melanjutkannya. Maka akhirnya aku tinggalkan sejenak tugas ku dan
mulai melangkah menghindar.
Kini sudah hampir pagi. Sepertinya masih
ada waktu sejenak untuk beristirahat. Kususuri lorong lantai 3 kampus ku,
menjauh dari labratorium tempat ku mengerjakan tugas. Selangkah demi selangkah
menuruni anak tangga. Sekilas terlihat rembulan sedang tersenyum kepada ku. Tetap
ramah dengan purnamanya, dan indah dengan cahaya.
“Sekarang sudah hampir pagi. Lebih baik
istirahat di mushola. Ketika subuh nanti pasti ada yang membangunkan.” Guman ku.
Kini aku melangkah menuju mushola
untuk beristirahat. Ditemani seekor kucing kecil yang dengan manja terus
mengikuti langkahku. Rembulan pun tak malu untuk terus tersenyum kepadaku. Dan angin
malam semilir mengiringiku. Entah mengapa semua hal itu membuat kedua mataku
yang tadinya lelah dengan segala aktivitas yang ada, kini menjadi segar
kembali. Tanpa terasa senyum kecil mengukir bibirku.
Karena mataku tidak lagi merasakan
kantuk, timbul keinginan untuk bisa bermunajat kepadaMU malam ini. Tapi entah
mengapa rembulanMU di langit cerah ini seakan menarik diriku. Dan angin malam
menggugah semangatku untuk terus menikmati suasana ini. Entah mengapa keputusan ku berubah menjadi
berjalan – jalan di tengah kesunyian 1/3 malam ini.
Aku nyalakan sepeda motor ku. Bersiap
mengarungi malam bersama sahabat setia ku. Ya, sahabat yang selalu mengiringi
langkah ku mulai ketika aku berada di Bandung dulu. Kota yang penuh perjuangan.
Dimana aku memulai langkah ku kini. Mulai merasakan indahnya jalan yang diterangi
cahaya. Awal dari pencarian arti diri ini. Dan seiring laju ku menembus angin,
pikiranku terbang melintasi ruang dan waktu. Mengenang kembali yang telah lalu.
Dalam perjalanan ini terasa ada yang
berbeda. Dahulu ketika mengendarai motor di tengah malam, selalu saja kaca
spion itu aku putar ke depan. Alasannya karena takut apabila ada sesosok
bayangan wanita yang ikut menumpang motor ku terlihat dari spion. Tapi kini aku
sudah tidak begitu mempedulikannya. Ada atau tidak yang mau menumpang, toh aku
juga tidak mau mengantarkan dia. Aku memiliki tujuanku sendiri.
Semilir angin kini kian terasa
dingin. Seakan menyelimuti tubuh ku yang lemah ini. Tapi itu yang membuat diri
ini kian merasa senang. Balutan lembut dari angin gunung yang selalu dirindukan
bisa sedikit terobati. Belum lagi rembulan masih tetap tulus tersenyum pada ku
malam ini. Maka tanpa ragu aku pun membalas senyumnya.
Tiba di persimpangan jalan, terlihat
lampu lalu lintas berwana merah. Memang keadaan saat itu sangat sepi. Sehingga sepeda
motor di belakang ku terus saja melaju tanpa mempedulikan aturan yang berlaku. Aku
hanya bisa tersenyum melihatnya. Toh sang bulan pun masih juga tersenyum saat
ini.
Sambil menunggu lampu berubah
menjadi hijau, aku memperhatikan sekeliling ku. Tampak seorang agen koran
sedang sibuk bersiap membagi koran kepada para loper koran jalanan. Ia memilah –
milah koran mana yang harus dipersiapkan dan dikelompokkan. Dalam 1/3 malam
terakhir ini, dirinya harus berjuang menafkahi keluarnya. Di tengah malam yang
sunyi ini dia berjuang untuk mencari penghidupan. Sempat terbesit dalam
benakku, apakah pernah selama ia menjadi agen koran untuk mengisi 1/3 malam terakhirnya dengan bermunajat
kepada Sang Illahi? Ataukah berapa lama ia bisa berdiri dan beribadah di malam
ini sehingga dirinya bisa bercinta dengan mesranya dengan Sang Illahi?
Mungkin saat ini hatinya tengah
menyesal. Ketika orang lain bisa menikmati lezatnya 1/3 malam terakhir bermesra
dengan Sang Pencipta, dirinya harus memilah koran untuk disebar pagi harinya. Atau
mungkin walau orang lain hanya tertidur dengan lelapnya, dirinya harus rela
menahan kantuk demi sesuap nasi. Entah bagaimana perasaannya jika ia tahu bahwa
dirinya tidak bisa menikmati lezatnya qiyamullail seperti orang lain.
Hati ku mulai bergejolak. Entah apa
jadinya jika dikemudian hari justru aku yang menempuh jalan seperti dirinya. Harus
berjuang meninggalkan 1/3 malam dengan bekerja. Tapi perjuangannya tetap untuk
umat pula. Ia harus berjuang dalam butanya pagi agar setiap orang bisa
mendapatkan berita dan informasi yang aktual dan berimbang. Entah bagaimana
jadinya apabila setiap agen koran tidak ada yang bangun pagi. Mungkin informasi
itu akan sampai terlambat. Dan perjuangan agen koran untuk bekerja sejak dini
hari tetap merupakan suatu hal yang mulia. Namun dalam hati ku tetap berharap
agar aku tidak berprofesi demikian di suatu hari nanti. Entah apa jadinya 1/3
malam terakhirku nanti.
Kini sepada motor ku terus melaju
membelah jalanan. Angin malam tetap setia menjaga ku dari rasa kantuk agar
tidak tertidur. Dan rembulan tetap tersenyum lembut mengiringi pejalanan ku. Walau
kadang ia bersembunyi dalam rimbun pepohonan atau tingginya gedung yang
menjulang di kota ini.
Tak lama kemudian sampailah aku
dalam sebuah pasar dadakan. Seakan badan jalan telah menjadi tempat untuk
mencari sebagian dari rezekinya. Tampak orang – orang di sana sedang sibuk
mempersiapkan dagangannya. Bahkan ada distributor yang baru saja datang di sana
dan membagikan sayur mayur segar untuk dijual. Semua ini masih terjadi di 1/3
malam terakhir.
Hati ku kini terusik lagi. Para pedangang
kecil di pasar ini tak berbeda dengan agen koran. Di 1/3 malam terakhir harus
bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. Dan kali ini jumlah mereka jauh lebih
banyak dari agen koran. Yang membuat hati ku risau adalah, sebanyak ini kah
jumlah orang yang tidak bisa menikmati lezatnya 1/3 malam itu? Padahal karunia,
ampunan serta keutamaan lainnya dari 1/3 malam itu begitu tinggi. Tapi begitu
banyak hambaMU yang terhalang untuk menikmatinya. Dalam hatiku berharap agar
dikemudian hari nanti aku tidak termasuk yang demikian.
Tetapi patut kita sadari pula, bahwa
mereka seperti itu karena tuntutan dari kita juga. Ketika pagi hari pastinya
kita menginginkan sayuran segar agar keluarga kita bisa menikmati sarapan
dengan mudah. Coba bayangkan apabila para penjual sayur itu tidak berjualan di
pagi hari? Mungkin tidak ada dari kita yang bisa menikmati sarapan. Mereka mengorbankan
waktunya untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. Di pagi buta mereka sudah
berjuang untuk bisa melayani umat dengan menyediakan kebutuhan kita. Meskipun harus
mengorbankan 1/3 malam terakhirnya.
Kini motor ku terus melaju membawaku
ke sebuah jalan utama di kota ini. Sambil terus menikmati perjalanan ini,
pikiran ku terus melayang memikirkan banyak hal. Lamunan ku terus memikirkan
waktu berharga yang tersia – siakan dikarenakan kewajiban melayani umat dan
demi menyambung hidup. Sungguh besar sebenarnya arti pengorbanan itu.
Namun tiba – tiba lamunan ku buyar begitu saja. Tanpa diduga ada sepeda
motor dengan kecepatan tinggi menyalip ku. Suara motor tersebut sangat nyaring
dan terkesan berisik. Sesaat ada sedikit kekesalan terhadap pengendara motor
tersebut. Namun segera saja aku berikan sedikit senyuman ke arahnya. Toh bulan
saja masih tetap tersenyum dengan tulus kepada ku. Mungkin dia sedang sangat
terburu – buru. Bahkan saking buru – burunya, ia sampai lupa mengenakan helm
dan hanya memakai kaos tipis di tengah malam ini. Lampu merah pun tak
dipedulikannya. Sepertinya memang ada suatu urusan yang penting. Semoga saja
demikian dan semoga dia tidak mengalami kecelakaan.
Sepeda motor ku terus melaju. Angin malam tetap menyelimuti ku. Menyejukkan
diri segala yang tengah dirasakan. Dan sang rembulan terus memancarkan cahaya
kelembutan mengiringi perjalananku. Senyumnya memberi kedamaian dalam hati
ku.dan membuat perjalanan ini terasa sangat berkesan. Terus dan terus melaju
menuju ujung kota ini.
Tiba – tiba ada sepeda motor yang berjalan mendekat ke arah ku. Semakin lama
semakin mendekat. Hingga akhirnya tepat berada di sebelah ku. Ada 2 orang pemuda
berboncengan di sepeda motor tersebut. Dan keduanya tidak ada yang mengenakan
helm. Karena jaraknya yang cukup dekat, aku bisa melihat ekspresi wajah mereka,
sorot matanya bahkan bau mulutnya. Dari sana saja aku sudah bisa menerka bahwa
kedua sedang dipengaruhi alkohol. Sesuatu yang sangat aku benci apabila
disalahgunakan.
Entah mengapa orang yang dibelakang mengeluarkan suatu benda yang agak
panjang namun tidak terlihat jelas apa itu. Tiba – tiba orang tersebut langsung
mengayunkannya ke arahku. Alhamdulillah aku masih bisa menghindarinya. Langsung
setelah itu aku memaksa sepeda motor ku untuk mengeluarkan kemampuannya. Tapi ternyata
mereka juga mengejarku. Akhirnya kejar – kejaran pun terjadi. Seperti sebuah
balapan liar yang terjadi di pagi buta. Dengan sedikit gerakan mengecoh, akhirnya
aku bisa lepas dari kejaran mereka walaupun sempat bersinggungan sedikit. Semoga
saja mereka tidak apa – apa karena tidak memenuhi standar keselamatan. Namun aku
juga tidak berniat berbalik untuk menolong mereka.
Dalam hati, aku berguman. Ternyata masih ada juga orang yang menyia –
nyiakan 1/3 malam terakhirnya untuk hal yang sama sekali tidak bermanfaat. Padahal
1/3 malam terakhir itu begitu tinggi kedudukannya. Tapi masih juga ada yang
membuang keutamaan 1/3 malam terakhir itu. Benar rugi orang tersebut. Bahkan amat
sangat ruginya orang tersebut.
Sesaat setelah itu, aku kemudian terdiam sambil sepeda motor ku terus
melaju kembali ke tempatku semula. Namun hati ini menjadi terdiam. Sesaat terasa
sebuah rasa penyesalan yang begitu menyesakkan dada. Bahkan tanpa disadari, air
mata ini mengalir membasahi pipi. Tubuh ini pun rasanya bergetar. Perasaan ku
kacau balau. Apabila mengingat kembali semua yang dilihat di pagi ini, seakan
penyesalan ini kian menjadi.
Banyak orang yang harus dengan rela mengorbankan 1/3 malamnya untuk
bekerja atau melakukan hal lain selain bermunajat. Bahkan mereka harus mau
merelakan lezatnya 1/3 malam terakhir untuk mencari rezekiNya, dan untuk umat
pula. Sungguh apa yang mereka lakukan itu pun begitu mulia. Karena walau tidak
bisa meluangkan waktunya untuk beribadah, tapi mereka bisa sangat bermanfaat
bagi orang lain. Bahkan mereka dibutuhkan.
Di sisi lain, ada juga orang menyia – nyiakan 1/3 malam terakhir begitu
saja. Kadang malah mengisinya dengan sesuatu yang tidak bermanfaat. Dan tidak
sedikit orang yang berlaku demikian. Termasuk diri ini.
Sering rasanya 1/3 malam terakhirku aku habiskan untuk hal yang sedikit
mengandung manfaat. Dan rasanya itu seperti sudah menjadi kebiasaan. Maka apa
bedanya diri ini dengan dua orang pengendara sepeda motor tadi yang menghabiskan
1/3 malam terakhirnya dengan menegak minuman haram dan berusaha mencelakai
orang lain. Sama – sama tidak bisa memanfaatkan waktu yang begitu tinggi
kedudukannya. Sama – sama dalam kerugian. Bahkan mungkin diri ini jauh lebih
rugi dari mereka. Mereka yang belum begitu paham dengan agamanya, dan mungkin
tidak tahu tentang keutamaan 1/3 malam terakhir.
Tapi diri ini berbeda. Berbekal pengetahuan agama yang alhamdulillah
diamanahkan oleh Allah, serta sedikitnya beban kita dalam menjalani hidup. Justru
sering meninggalkan 1/3 malam terakhir atau bahkan melupakannya. Bahkan mengisinya
dengan sesuatu yang tidak begitu berarti. Maka apakah diri ini sudah lebih baik
dari mereka.
Untuk saudaraku seiman semua. Sungguh setiap dari kita telah mengetahui
keutamaan dari 1/3 malam terakhir. Maka apakah kita akan menyia – nyiakannya begitu
saja? Atau kita seakan tidak peduli dengan keutamannya itu? Sungguh begitu
banyak orang yang tidak bisa menghabiskan 1/3 malam terakhirnya untuk bisa
bermunajat, bermesra kepada Sang Pencipta. Mereka sebenarnya ingin bisa
meluangkan waktunya pula. Tapi mereka tidak bisa melakukannya dan merasa
menyesal. Maka tidak kah kita cemburu pada mereka? Padahal kita memiliki waktu
yang begitu lapang di 1/3 malam terakhir kita. Tapi dengan apa kita mengisinya?
Tidak kah kita merasa malu terhadap saudara kita yang lain. Saudara kita yang
begitu berharap bisa meluangkan waktunya di 1/3 malam terakhirnya untuk bisa
bermunajat kepada Allah.
**Sebuah renungan
untukku. Semoga bisa bermanfaat untuk antum semua
Surabaya, 9 Januari
2012