Minggu, 08 Januari 2012

Di Perjalanan Menjelang Pagi

            Lelah rasanya diri ini dengan beban tugas yang menerpa. Kala tugas itu harus dikerjakan semalaman, dan tetap belum saja sempurna dikerjakan. Namun apa daya, tubuh ini telah menolak untuk melanjutkannya. Maka akhirnya aku tinggalkan sejenak tugas ku dan mulai melangkah menghindar.
            Kini sudah hampir pagi. Sepertinya masih ada waktu sejenak untuk beristirahat. Kususuri lorong lantai 3 kampus ku, menjauh dari labratorium tempat ku mengerjakan tugas. Selangkah demi selangkah menuruni anak tangga. Sekilas terlihat rembulan sedang tersenyum kepada ku. Tetap ramah dengan purnamanya, dan indah dengan cahaya.
            “Sekarang sudah hampir pagi. Lebih baik istirahat di mushola. Ketika subuh nanti pasti ada yang membangunkan.” Guman ku.
            Kini aku melangkah menuju mushola untuk beristirahat. Ditemani seekor kucing kecil yang dengan manja terus mengikuti langkahku. Rembulan pun tak malu untuk terus tersenyum kepadaku. Dan angin malam semilir mengiringiku. Entah mengapa semua hal itu membuat kedua mataku yang tadinya lelah dengan segala aktivitas yang ada, kini menjadi segar kembali. Tanpa terasa senyum kecil mengukir bibirku.
            Karena mataku tidak lagi merasakan kantuk, timbul keinginan untuk bisa bermunajat kepadaMU malam ini. Tapi entah mengapa rembulanMU di langit cerah ini seakan menarik diriku. Dan angin malam menggugah semangatku untuk terus menikmati suasana ini.  Entah mengapa keputusan ku berubah menjadi berjalan – jalan di tengah kesunyian 1/3 malam ini.
            Aku nyalakan sepeda motor ku. Bersiap mengarungi malam bersama sahabat setia ku. Ya, sahabat yang selalu mengiringi langkah ku mulai ketika aku berada di Bandung dulu. Kota yang penuh perjuangan. Dimana aku memulai langkah ku kini. Mulai merasakan indahnya jalan yang diterangi cahaya. Awal dari pencarian arti diri ini. Dan seiring laju ku menembus angin, pikiranku terbang melintasi ruang dan waktu. Mengenang kembali yang telah lalu.
            Dalam perjalanan ini terasa ada yang berbeda. Dahulu ketika mengendarai motor di tengah malam, selalu saja kaca spion itu aku putar ke depan. Alasannya karena takut apabila ada sesosok bayangan wanita yang ikut menumpang motor ku terlihat dari spion. Tapi kini aku sudah tidak begitu mempedulikannya. Ada atau tidak yang mau menumpang, toh aku juga tidak mau mengantarkan dia. Aku memiliki tujuanku sendiri.
            Semilir angin kini kian terasa dingin. Seakan menyelimuti tubuh ku yang lemah ini. Tapi itu yang membuat diri ini kian merasa senang. Balutan lembut dari angin gunung yang selalu dirindukan bisa sedikit terobati. Belum lagi rembulan masih tetap tulus tersenyum pada ku malam ini. Maka tanpa ragu aku pun membalas senyumnya.
            Tiba di persimpangan jalan, terlihat lampu lalu lintas berwana merah. Memang keadaan saat itu sangat sepi. Sehingga sepeda motor di belakang ku terus saja melaju tanpa mempedulikan aturan yang berlaku. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Toh sang bulan pun masih juga tersenyum saat ini.
            Sambil menunggu lampu berubah menjadi hijau, aku memperhatikan sekeliling ku. Tampak seorang agen koran sedang sibuk bersiap membagi koran kepada para loper koran jalanan. Ia memilah – milah koran mana yang harus dipersiapkan dan dikelompokkan. Dalam 1/3 malam terakhir ini, dirinya harus berjuang menafkahi keluarnya. Di tengah malam yang sunyi ini dia berjuang untuk mencari penghidupan. Sempat terbesit dalam benakku, apakah pernah selama ia menjadi agen koran untuk mengisi  1/3 malam terakhirnya dengan bermunajat kepada Sang Illahi? Ataukah berapa lama ia bisa berdiri dan beribadah di malam ini sehingga dirinya bisa bercinta dengan mesranya dengan Sang Illahi?
            Mungkin saat ini hatinya tengah menyesal. Ketika orang lain bisa menikmati lezatnya 1/3 malam terakhir bermesra dengan Sang Pencipta, dirinya harus memilah koran untuk disebar pagi harinya. Atau mungkin walau orang lain hanya tertidur dengan lelapnya, dirinya harus rela menahan kantuk demi sesuap nasi. Entah bagaimana perasaannya jika ia tahu bahwa dirinya tidak bisa menikmati lezatnya qiyamullail seperti orang lain.
            Hati ku mulai bergejolak. Entah apa jadinya jika dikemudian hari justru aku yang menempuh jalan seperti dirinya. Harus berjuang meninggalkan 1/3 malam dengan bekerja. Tapi perjuangannya tetap untuk umat pula. Ia harus berjuang dalam butanya pagi agar setiap orang bisa mendapatkan berita dan informasi yang aktual dan berimbang. Entah bagaimana jadinya apabila setiap agen koran tidak ada yang bangun pagi. Mungkin informasi itu akan sampai terlambat. Dan perjuangan agen koran untuk bekerja sejak dini hari tetap merupakan suatu hal yang mulia. Namun dalam hati ku tetap berharap agar aku tidak berprofesi demikian di suatu hari nanti. Entah apa jadinya 1/3 malam terakhirku nanti.
            Kini sepada motor ku terus melaju membelah jalanan. Angin malam tetap setia menjaga ku dari rasa kantuk agar tidak tertidur. Dan rembulan tetap tersenyum lembut mengiringi pejalanan ku. Walau kadang ia bersembunyi dalam rimbun pepohonan atau tingginya gedung yang menjulang di kota ini.
            Tak lama kemudian sampailah aku dalam sebuah pasar dadakan. Seakan badan jalan telah menjadi tempat untuk mencari sebagian dari rezekinya. Tampak orang – orang di sana sedang sibuk mempersiapkan dagangannya. Bahkan ada distributor yang baru saja datang di sana dan membagikan sayur mayur segar untuk dijual. Semua ini masih terjadi di 1/3 malam terakhir.
            Hati ku kini terusik lagi. Para pedangang kecil di pasar ini tak berbeda dengan agen koran. Di 1/3 malam terakhir harus bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. Dan kali ini jumlah mereka jauh lebih banyak dari agen koran. Yang membuat hati ku risau adalah, sebanyak ini kah jumlah orang yang tidak bisa menikmati lezatnya 1/3 malam itu? Padahal karunia, ampunan serta keutamaan lainnya dari 1/3 malam itu begitu tinggi. Tapi begitu banyak hambaMU yang terhalang untuk menikmatinya. Dalam hatiku berharap agar dikemudian hari nanti aku tidak termasuk yang demikian.
            Tetapi patut kita sadari pula, bahwa mereka seperti itu karena tuntutan dari kita juga. Ketika pagi hari pastinya kita menginginkan sayuran segar agar keluarga kita bisa menikmati sarapan dengan mudah. Coba bayangkan apabila para penjual sayur itu tidak berjualan di pagi hari? Mungkin tidak ada dari kita yang bisa menikmati sarapan. Mereka mengorbankan waktunya untuk bisa bermanfaat bagi orang lain. Di pagi buta mereka sudah berjuang untuk bisa melayani umat dengan menyediakan kebutuhan kita. Meskipun harus mengorbankan 1/3 malam terakhirnya.
            Kini motor ku terus melaju membawaku ke sebuah jalan utama di kota ini. Sambil terus menikmati perjalanan ini, pikiran ku terus melayang memikirkan banyak hal. Lamunan ku terus memikirkan waktu berharga yang tersia – siakan dikarenakan kewajiban melayani umat dan demi menyambung hidup. Sungguh besar sebenarnya arti pengorbanan itu.
Namun tiba – tiba lamunan ku buyar begitu saja. Tanpa diduga ada sepeda motor dengan kecepatan tinggi menyalip ku. Suara motor tersebut sangat nyaring dan terkesan berisik. Sesaat ada sedikit kekesalan terhadap pengendara motor tersebut. Namun segera saja aku berikan sedikit senyuman ke arahnya. Toh bulan saja masih tetap tersenyum dengan tulus kepada ku. Mungkin dia sedang sangat terburu – buru. Bahkan saking buru – burunya, ia sampai lupa mengenakan helm dan hanya memakai kaos tipis di tengah malam ini. Lampu merah pun tak dipedulikannya. Sepertinya memang ada suatu urusan yang penting. Semoga saja demikian dan semoga dia tidak mengalami kecelakaan.
Sepeda motor ku terus melaju. Angin malam tetap menyelimuti ku. Menyejukkan diri segala yang tengah dirasakan. Dan sang rembulan terus memancarkan cahaya kelembutan mengiringi perjalananku. Senyumnya memberi kedamaian dalam hati ku.dan membuat perjalanan ini terasa sangat berkesan. Terus dan terus melaju menuju ujung kota ini.
Tiba – tiba ada sepeda motor yang berjalan mendekat ke arah ku. Semakin lama semakin mendekat. Hingga akhirnya tepat berada di sebelah ku. Ada 2 orang pemuda berboncengan di sepeda motor tersebut. Dan keduanya tidak ada yang mengenakan helm. Karena jaraknya yang cukup dekat, aku bisa melihat ekspresi wajah mereka, sorot matanya bahkan bau mulutnya. Dari sana saja aku sudah bisa menerka bahwa kedua sedang dipengaruhi alkohol. Sesuatu yang sangat aku benci apabila disalahgunakan.
Entah mengapa orang yang dibelakang mengeluarkan suatu benda yang agak panjang namun tidak terlihat jelas apa itu. Tiba – tiba orang tersebut langsung mengayunkannya ke arahku. Alhamdulillah aku masih bisa menghindarinya. Langsung setelah itu aku memaksa sepeda motor ku untuk mengeluarkan kemampuannya. Tapi ternyata mereka juga mengejarku. Akhirnya kejar – kejaran pun terjadi. Seperti sebuah balapan liar yang terjadi di pagi buta. Dengan sedikit gerakan mengecoh, akhirnya aku bisa lepas dari kejaran mereka walaupun sempat bersinggungan sedikit. Semoga saja mereka tidak apa – apa karena tidak memenuhi standar keselamatan. Namun aku juga tidak berniat berbalik untuk menolong mereka.
Dalam hati, aku berguman. Ternyata masih ada juga orang yang menyia – nyiakan 1/3 malam terakhirnya untuk hal yang sama sekali tidak bermanfaat. Padahal 1/3 malam terakhir itu begitu tinggi kedudukannya. Tapi masih juga ada yang membuang keutamaan 1/3 malam terakhir itu. Benar rugi orang tersebut. Bahkan amat sangat ruginya orang tersebut.
Sesaat setelah itu, aku kemudian terdiam sambil sepeda motor ku terus melaju kembali ke tempatku semula. Namun hati ini menjadi terdiam. Sesaat terasa sebuah rasa penyesalan yang begitu menyesakkan dada. Bahkan tanpa disadari, air mata ini mengalir membasahi pipi. Tubuh ini pun rasanya bergetar. Perasaan ku kacau balau. Apabila mengingat kembali semua yang dilihat di pagi ini, seakan penyesalan ini kian menjadi.
Banyak orang yang harus dengan rela mengorbankan 1/3 malamnya untuk bekerja atau melakukan hal lain selain bermunajat. Bahkan mereka harus mau merelakan lezatnya 1/3 malam terakhir untuk mencari rezekiNya, dan untuk umat pula. Sungguh apa yang mereka lakukan itu pun begitu mulia. Karena walau tidak bisa meluangkan waktunya untuk beribadah, tapi mereka bisa sangat bermanfaat bagi orang lain. Bahkan mereka dibutuhkan.
Di sisi lain, ada juga orang menyia – nyiakan 1/3 malam terakhir begitu saja. Kadang malah mengisinya dengan sesuatu yang tidak bermanfaat. Dan tidak sedikit orang yang berlaku demikian. Termasuk diri ini.
Sering rasanya 1/3 malam terakhirku aku habiskan untuk hal yang sedikit mengandung manfaat. Dan rasanya itu seperti sudah menjadi kebiasaan. Maka apa bedanya diri ini dengan dua orang pengendara sepeda motor tadi yang menghabiskan 1/3 malam terakhirnya dengan menegak minuman haram dan berusaha mencelakai orang lain. Sama – sama tidak bisa memanfaatkan waktu yang begitu tinggi kedudukannya. Sama – sama dalam kerugian. Bahkan mungkin diri ini jauh lebih rugi dari mereka. Mereka yang belum begitu paham dengan agamanya, dan mungkin tidak tahu tentang keutamaan 1/3 malam terakhir.
Tapi diri ini berbeda. Berbekal pengetahuan agama yang alhamdulillah diamanahkan oleh Allah, serta sedikitnya beban kita dalam menjalani hidup. Justru sering meninggalkan 1/3 malam terakhir atau bahkan melupakannya. Bahkan mengisinya dengan sesuatu yang tidak begitu berarti. Maka apakah diri ini sudah lebih baik dari mereka.
Untuk saudaraku seiman semua. Sungguh setiap dari kita telah mengetahui keutamaan dari 1/3 malam terakhir. Maka apakah kita akan menyia – nyiakannya begitu saja? Atau kita seakan tidak peduli dengan keutamannya itu? Sungguh begitu banyak orang yang tidak bisa menghabiskan 1/3 malam terakhirnya untuk bisa bermunajat, bermesra kepada Sang Pencipta. Mereka sebenarnya ingin bisa meluangkan waktunya pula. Tapi mereka tidak bisa melakukannya dan merasa menyesal. Maka tidak kah kita cemburu pada mereka? Padahal kita memiliki waktu yang begitu lapang di 1/3 malam terakhir kita. Tapi dengan apa kita mengisinya? Tidak kah kita merasa malu terhadap saudara kita yang lain. Saudara kita yang begitu berharap bisa meluangkan waktunya di 1/3 malam terakhirnya untuk bisa bermunajat kepada Allah.

**Sebuah renungan untukku. Semoga bisa bermanfaat untuk antum semua

Surabaya, 9 Januari 2012

Senin, 02 Januari 2012

Khoirunnas Anfa'uhum linnas

Add caption
Bismillahirrahmanirrahim....

Koper itu kini digenggamnya lagi. dengan langkah tegap ia berjalan menyusuri lorong bandara. Singapura, itulah tujuannya kini. setelah menyelesaikan beberapa masalah administrasi, kini ia bisa duduk dengan nyaman di kursinya dalam pesawat. berada di ruang VIP memang bisa membuatnya tenang dan kembali memikirkan tujuannya. menjadi lebih sukses dari orang lain dan menjadi lebih baik dari semuanya. itu ambisi pribadinya. dengan pakaian ber-jas mewah, sepatu bermerk dan berdasi, benar - benar mencerminkan seorang pengusaha. kini ia berharap orang yang duduk di sebelahnya nanti merupakan seorang pengusaha juga atau seorang yang jauh lebih baik darinya agar setidaknya ia bisa sedikit "mencuri" ilmu dan mengembangkan dirinya agar lebih baik lagi. sambil menunggu, ia kembali sibuk dengan Ipad nya sekedar untuk menjadwal kembali rencana kegiatannya di negeri seberang.

Tak lama kemudian ada seorang wanita tua duduk di sebelahnya. pakaiannya tampak lusuh dan udik. bahkan ia hanya memakai sendal jepit, padahal berada di kelas VIP. sejenak ia menyangka bahwa Ibu itu salah duduk. tetapi tidak ada pramugari yang menegurnya. itu artinya dia duduk di tempat yang benar. terbesit sebuah tanya bagaimana bisa seorang wanita tua yang sangat sederhana itu bisa berada di penerbangan VIP bersama dirinya. akhirnya karena didorong oleh rasa penasaran maka ia pun bertanya kepada wanita tersebut.

"Ibu, mau ke Singapura juga?"

wanita itu tampak terkejut. kemudian ia mengendalikan diri dan tersenyum.

"Iya Nak."
"Mau bekerja atau ... ?"
"Mau bertemu dengan anak saya di Singapura Nak. kebetulan Istrinya baru saja melahirkan anak kedua beberapa hari yang lalu. jadi saya ingin menengok juga."

sempat terbesit rasa penyesalan telah bertanya demikian. entah mengapa  ia berpikir bahwa Ibu itu seorang TKW. tapi sepertinya Ibu itu tidak terlalu memikirkannya dan tetap  tersenyum dengan pandangan menerawang ke depan.

"Oh begitu. Anak ibu bekerja sebagai apa di Singapura?"
"Katanya sih sebagai Permanent Resident gitu atau apa gitu istilahnya. yang jelas katanya dia sering gambar - gambar gedung gitu di sana."

sejenak dirinya merasa kagum dengan Ibu tersebut. walaupun dirinya terlihat berasal dari keadaan yang sangat sederhana, tapi anaknya bisa sukses dan berhasil di luar negeri. akhirnya ia jadi ingin lebih tahu lebih banyak lagi tentang anak - anaknya.

"Wah keren juga ya anak Ibu bisa jadi sukses seperti itu."
"Alhamdulillah Nak. Ibu juga senang anak - anak Ibu bisa pada berhasil semua."
"Memang anak Ibu yang lain sekarang dimana?"
"Anak Ibu yang ketiga sekarang udah jadi dokter syaraf gitu di Jakarta. terus yang keempat sekarang dapat beasiswa S2 di Belanda. katanya biar bisa jadi profesor atau apa gitu."

Kini dirinya semakin kagum pada Ibu tua tersebut. walau penampilan dan hidupnya sangat sederhana, tapi anak - anaknya sukses semua. tapi ada sesuatu yang mengganjalnya. dirinya jadi penasaran terhadap anak pertama Ibu tersebut.

"Terus anak pertama Ibu bagaimana?"
"Anak Ibu yang pertama cuma jadi petani aja di kampung. jadi dia yang menemani Ibu setiap hari."

terlihat mata Ibu tersebut sedikit berkaca - kaca. akan tetapi Ia tetap mengulum senyum di bibirnya. kini pandangannya sedikit tertunduk ke bawah.

"Maaf jika kata - kata  saya sedikit menyinggung Ibu. saya tahu bahwa anak Ibu yang pertama tidak bisa dibanggakan seperti anak Ibu yang lainnya. tapi anak Ibu yang lain semuanya luar biasa karena bisa sukses seperti itu."

"Tidak! justru sebaliknya. Ibu sangat bangga pada anak Ibu yang pertama. sangat - sangat bangga. sangat - sangat bangga..!!"

"Tapi bagaimana Ibu bisa bangga? bukankah anak Ibu yang pertama hanya menjadi petani biasa saja di kampung?"

"Justru itu Nak. sejak suami Ibu meninggal, anak pertama Ibu langsung putus sekolah dan menjadi petani. tapi dia tidak pernah memperbolehkan adik - adiknya untuk putus sekolah jgua seperti dirinya. bahkan dia selalu bekerja keras agar adik - adiknya semua bisa terus sekolah dan terus membiayai kebutuhan adik - adiknya. ketika adik - adiknya putus asa juga dia yang selalu mengirimi surat dan memotivasi adik - adiknya agar tidak menyerah dan terus berusaha. walaupun dia sendiri yang tidak pernah sampai sekolah tinggi seperti adiknya, tapi dia selalu ingin agar adiknya jadi lebih baik dari dirinya. bukan menjadi yang lebih dari adik - adiknya dan membiarkannya begitu saja. pokoknya Ibu sangat bangga pada anak Ibu yang pertama itu."

senyum lebar terlihat dari wajah Ibu tersebut. walau dari sinar matanya masih terdapat haru yang mendalam, tapi rasa kebanggaan itu tetap terpancar dari raut wajahnya.

sejenak kemudian pembicaraan itu terhenti. masing - masing dari mereka tenggelam dalam lamunannya sendiri. Kini pengusaha itu merenungi kembali ambisinya. dari awal ia hanya ingin agar bisa menjadi lebih dari orang lain. terus berharap agar orang lain jatuh sehingga dirinya bisa jadi lebih baik dari orang tersebut. bukan berharap untuk bisa membantu orang lain  dan mendorong orang lain agar bisa lebih daripada dirinya. bukan pula untuk berkorban banyak bagi orang lain. seseorang yang sangat sederhana sekalipun justru bisa memberikan manfaat yang sangat luar biasa untuk orang lain. entah mengapa dirinya kini merasa malu. malu karena belum berusaha untuk membantu orang lain secara maksimal. malu karena dirinya bahkan berada dalam keadaan yang jauh lebih baik.

kini dia pikirannya mulai terbang lagi ke arah lain. dia mulai melihat lagi jalan hidupnya yang telah ditempuh selama ini. adakah orang - orang yang telah berkorban banyak agar dirinya kini bisa berhasil? apakah dirinya pernah setidaknya berterima kasih kepadanya? atau sempat membalas jasanya?

entah mengapa kini pipinya basah. Ya, kini dirinya sedang menangis. merasa menyesal belum sempat membantu orang lain. tidak pernah memikirkan orang lain. tidak berusaha untuk bermanfaat bagi orang lain. padahal agar bisa sampai pada keadaan seperti saat ini, dirinya sering sekali dibantu oleh orang lain. saatnya merubah mindset diri dan merubah keegoisan dalam diri. berusaha untuk membalas dan bermanfaat bagi orang lain. itulah niatnya kini. bukan lagi berambisi untuk menjadi lebih daripada orang lain, tapi untuk bisa bermanfaat lebih daripada orang lain.

-Khoirunnas anfa'uhum linnas-