Selasa, 20 Mei 2014

Catatan Ujian Nasional 2014



Alangkah lucunya negeri ini. Melihat wacana Ujian Nasional (UN) yang menjadi dinamika sendiri dalam masyarakat ini. Apalagi baru-baru ini hasil kelulusan UN tingkat SMA dan sederajat diumumkan. Dilihat dari statistik kelulusan UN dan ketidaklulusan, terlihat sekali ketimpangan. Banyak sekali yang lulus. Memang ada juga yang tidak lulus. Akan tetapi adalah sebuah kewajaran jika ada dalam ujian ada yang tidak lulus. Toh, tujuan ujian memang untuk menyaring siswa yang layak lulus dan tidak.

Seiring berjalannya waktu, muncul kelompok yang seakan-akan tertidas dikarenakan UN ini dan ingin menghapuskan UN. Banyak pendapat bermunculan di jejaring sosial media dan internet tentang UN, bahkan memunculkan pendapat yang bervariasi. Rasanya tidak ada salahnya apabila saya juga ikut berpendapat mewakili pendapat saya pribadi.

Saya ingin mulai dengan seorang siswi, yang menurut informasi yang beredar adalah salah satu peserta OSN, yang seakan menantang Mendikbud untuk mengerjakan soal UN matematika. Dia mengatakan ada dua buah soal yang sangat sulit dikerjakan, bahkan gurunya juga tidak bisa mengerjakannya. Akhirnya dia mengatakan bahwa UN itu tidak layak dikerjakan oleh siswa karena terlalu sulit.

Dari pendapat saya pribadi, saya akan bertanya terlebih dahulu. Apakah jika kita mengambil sampel guru matematika di Indonesia, dari sekolah yang juga diacak, apakah kita yakin guru tersebut bisa mengerjakan semua soal UN itu dengan benar 100%? apakah kita yakin kualitas guru di Indonesia sudah merata? silakan dijawab di hati masing-masing.

Apabila kita melihat lagi mengenai masalah guru, ini juga tidak kalah menarik. Ada sebagian kalangan yang meminta guru yang sudah sekian tahun mengajar bisa menjadi PNS secara langsung dan tidak perlu melalui tes lagi. Apakah dengan demikian kualitas pendidikan kita bisa baik? Selain itu banyak juga yang menuntut gaji guru diperhatikan dan diberikan standar yang tinggi untuk tunjangannya. sekali lagi saya bertanya, apakah kualitas guru tersebut meningkat atau tidak?

Ketika ada wacana untuk mengganti guru yang "kurang" berkualitas dengan guru baru yang berkualitas, banyak pula yang tidak setuju. Sertifikasi guru dianggap memberatkan guru-guru yang sudah sekian tahun mengajar. Memang pengabdian mereka sudah sangat baik. Akan tetapi ketika uji kualitas tidak dilakukan, bagaimana menilai kualitas guru tersebut? Padahal niat Mendikbud untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Tapi niat tersebut dihalangi oleh kelompok orang yang mengatasnamakan kemanusiaan. Tentu untuk mendapatkan sesuatu harus mengorbankan sesuatu pula. Jangan salahkan jika kualitas pendidikan Indonesia tidak merata dikarenakan persebaran guru berkualitas juga tidak merata. Baik saya juga mengakui sarana dan prasarana pendidikan juga berbeda. Namun harga yang dibayar tiap siswa untuk bersekolah juga berbeda. Jika hal ini juga dipermasalahkan, maka pemerataan ekonomi juga harus dilibatkan. Tapi sepertinya terlalu jauh juga jika kita berbicara demikian.

Kembali lagi ke masalah soal yang tidak bisa dikerjakan lagi. Menurut saya adalah wajar apabila ada soal yang sulit dalam sebuah ujian. Hal itu untuk memacu kemampuan siswa untuk lebih baik. Namun jumlah soal tersebut haruslah jauh lebih sedikit dari soal yang mudah. Sehingga walau siswa banyak yang tidak bisa mengerjakan soal tersebut tetap akan bisa lulus.

Itu masih dari satu sisi saja. Dalam pernyataan lain siswi tersebut juga mengatakan bahwa bobot soal tiap orang juga berbeda. Di sini saya juga akan mengatakan bahwa kemampuan orang juga berbeda. Walaupun masih satu materi yang sama, tapi menurut orang lain bisa jadi susah dan bisa jadi mudah. Dalam trigonometri misalnya, ada orang yang menurut dia cosinus jauh lebih mudah dari cotangen. Namun akan ada juga yang bilang cotangen lebih mudah dari cosinus. Apakah apabila salah satu mendapat soal cosinus dan satu lagi mendapat cotangen, itu menjadi perbedaan bobot? selama masih sesuai kisi-kisi yang sudah diberikan, maka menurut saya itu masih sama saja.

Jika kita beralasan bahwa UN itu membawa stress karena yang menjaganya saja polisi. Lalu alasan kemudian UN menentukan kelulusan sehingga membuat siswa menjadi tertekan dan tidak nyaman. Saya akan mengatakan mana ada ujian yang membuat nyaman. Justru wajar jika siswa akan merasa tertekan karena ujian tersebut sehingga dapat memacu diri untuk menjadi lebih baik. Jika tidak ada tekanan, malah siswa akan terlalu santai dan lebih berpotensi menjadi malas.

Jika ada yang mengatakan bahwa ada siswa di suatu daerah yang bunuh diri akibat stress UN dan meminta UN tidak usah diadakan dikarenakan hal itu, justru itu sangat aneh juga menurut saya. Ketika ada orang bunuh diri dipastikan karena dia mengalami masalah yang sangat kompleks. Apakah hanya UN saja? tentu tidak. Baik jika ada yang mengatakan itu hanya karena UN saja. Tapi menurut saya justru reaksi orang tersebut yang berlebihan. Mungkin pendidikan karakter siswa belum dibangun untuk siap menghadapi ujian. UN tidak semenyeramkan itu. Lihat statistik kelulusan UN yang jauh lebih banyak dari yang tidak lulus UN. Masihkah UN semenyeramkan itu?

Jika masih ada orang yang tetep bersikukuh bahwa itu layak dijadikan alasan, maka saya akan beri sebuah analogi. Ada orang yang ketika membuka situs porno menjadi terobsesi untuk melakukan pelecehan seksual bahkan hingga tingkat pemerkosaan. Kemudian pemerintah menutup beberapa situs yang didalamnya tidak menyaring gambar-gambar atau video pornografi dengan baik. Ratusan bahkan hingga ribuan protes akan hal tersebut hingga ada juga yang sampai mencela pemerintah. Padahal sudah jelas ada yang melakukan tindakan asusila karena situs tersebut dan menimbulkan dampak yang jelas pula. Sama juga kan dengan UN yang menyebabkan ada siswa yang bunuh diri. Tapi orang Indonesia memiliki pandangan yang berbeda. Sebenarnya cara orang Indonesia dalam menyimpulkan atau dasar untuk mengatakan sesuatu itu baik atau tidak itu apa sih?

Jujur saya bukan membela Menkominfo. Saya hanya berusaha melihat dari sisi kira-kira bagaimana pola pikiran dari Kementrian ini. Saya setuju apabila pemerintah memblokir situs-situs berbau pornografi. Namun saya juga berharap penanganannya dapat dilakukan dengan cara yang lebih bijak.

Kembali ke soal UN yang membuat stress siswa. Ada yang mengatakan bahwa menggunakan polisi untuk mengamankan UN dinilai terlalu berlebihan dan membuat siswa tambah stress. Jika saya boleh berpendapat, sudah dijaga oleh polisi saja UN masih bisa bocor, apalagi jika tidak dijaga. Bahkan sebuah media juga mengungkapkan bagaimana sistematisnya oknum-oknum guru dan kepala sekolah untuk mencari celah agar bisa mendapatkan soal UN dan memberikan jawabannya kepada siswa-siswinya. Luar biasa menurut saya.

Pihak sekolah mengatakan itu karena mereka berharap siswa-siswinya dapat lulus dengan nilai yang terbaik. Apabila saya juga boleh menambahkan, dengan seluruh siswa-siswinya lulus UN 100% dan mendapat nilai yang tinggi-tinggi, maka rating sekolah tersebut juga akan naik. Hal ini juga akan membuat banyak siswa-siswi baru yang tertarik masuk sekolah tersebut. Selain itu jika jawaban tersebut dijual ke siswa-siswi lain, tentu akan menghasilkan keuntungan hingga jutaan rupiah. Luar biasa bukan!

Apabila moral para pendidik kita sudah seperti itu, apa yang bisa kita harapkan lagi? ketidakjujuran sudah menjadi hal biasa dan lumrah ketika UN. Apakah seperti itu kita ingin mendidik calon penerus bangsa ini? Semoga kita semua bisa membiasakan hal yang benar, bukan membenarkan hal yang biasa.

Saran saya bagi orang yang sering mengkritik, bahkan sampai mencela mendikbud mengenai masalah UN ini, silakan menyampaikan solusi terbaik untuk memperbaiki semuanya. Iya semuanya. Silakan ajukan sistem pendidikan baru yang menurut Anda baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Buatlah sistem anti stress bagi siswa namun tetap menghasilkan putra-putri bangsa yang jauh lebih berkualitas. Bahkan kalau bisa silakan mengajukan diri sebagai mendikbud baru kepada presiden terpilih nanti (entah itu siapa) dan perbaiki sistem pendidikan Indonesia secara keseluruhan.

Kebanyakan orang Indonesia hanya bisa mengkritik dan mencela saja. Ketika ditanya solusi yang solutif, mereka hanya bisa diam. Tidak berani berkomentar apa-apa. Padahal negara ini saya yakin orang-orangnya terbuka untuk kritik yang positif dan membangun. Jika Anda hanya bisa mencela dan mengkritik tanpa memberikan solusi yang lebih baik, saya hanya dapat berkata bahwa "diam itu emas". Berbicara atau berpendapat bisa jadi berlian yang jauh lebih bernilai jika itu benar-benar berbobot dan membangun. Jika tidak bisa membuahkan berlian, maka lebih baik mendapatkan emas daripada tidak mendapat apapun. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar