FIQH PRIORITAS
Salah satu konsep terpenting dalam fiqih kita saat
ini adalah apa yang disebut “fiqih prioritas” atau fiqh al-awlawiyyat. Yang dimaksud daam istilah tersebut adalah
meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai
dan pelaksanaannya. Hal ini dilakukan agar sesuatu yang tidak penting tidak
didahulukan atas sesuatu yang penting, dan sesuatu yang penting tidak
didahulukan atas sesuatu yang lebih penting.
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia
meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca
itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi
neraca itu.” (ar-Rahman: 7-9)
Sesungguhnya terdapat
parameter yang berkaitan dengan tingkatan perbuatan baik. Pun demikian terdapat
pula parameter yang berkaitan dengan penjelasan mengenai perbuatan baik.
Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa manusia memiliki derajat yang berbeda
walaupun nilai kemanusiaan mereka adalah sama. Ilmu dan amal perbuatan
merekalah yang menjadi pembeda antara satu dan yang lainnya.
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
Apabila kita memperhatikan
kehidupan kita dari berbagai sisi, maka kita akan menemukan bahwa timbangan
prioritas pada umat tidak lagi seimbang. Banyak di berbagai negara yang
mayoritas muslim, lebih memprioritaskan hal-hal yang berkenaan dengan dunia seni
dan hiburan dibandingkan persoalan menyangkut ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Juga pada pikiran remajanya, banyak perhatian yang lebih dicurahkan terhadap
olahraga dibandingkan olah akal dan pikiran. Makna pembinaan pun lebih berat
pada bidang jasmaniah saja.
Bahkan media pun lebih
menyebarluaskan berita tentang tokoh sepak bola dibandingkan dengan kehidupan
kaum ilmuwan. Hal ini juga membuat masyarakat ikut menumpukan perhatian mereka
pada bidang sepak bola dan mengesampingkan bidang lain. Maka tak heran jika bintang
masyarakat saat ini adalah mereka yang menjadi atlet sepak bola, bukan para
ilmuwan atau juru da’wah. Apabila ada seorang pemain sepak bola yang cedera,
maka banyak media yang meliputnya. Namun apabila ada salah seorang ilmuwan yang
meninggal dunia, hampir tidak ada media yang meliput. Padahal kita akan jauh
kehilangan ilmuwan yang dapat memperbaiki dunia ini dibanding hanya seorang
atlet yang menjadi penghibur. Oleh sebab itu maka prioritas kita dalam hal
dunia ini harus diperbaiki lagi.
Penyimpangan masalah fiqih
ini sebenarnya tidak hanya terjadi di kalangan awan kaum muslimin. Apabila kita
perhatikan sekeliling kita, maka tidak sedikit pula orang yang telah
menisbatkan dirinya pada agama ini juga tidak memprioritaskan hal yang tepat.
Hal ini karena tidak adanya pengetahuan dan fiqih yang benar.
Sering kali kita mendapati
orang yang menyibukkan diri dengan perbuatan yang tidak kuat (marjuh) dan menganggapnya sebagai amalan
yang kuat (rajih) – walaupun
sebenarnya mereka adalah orang yang ikhlas – dan menutup diri di dalamnya.
Mereka sibuk dengan perbuatan yang tidak utama (mafaduhul) dan melalaikan perbuatan yang utama (fadhil). Memang kadang perbuatan
tersebut pada suatu masa merupakan perbuatan yang utama. Akan tetapi pada masa
yang lain hal tersebut pada masa yang lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan
yang utama. Akan tetapi karena pengetahuan dan pemahaman mereka yang kurang,
sehingga tidak bisa membedakan antara dua masa dan suasana yang berlainan itu.
Misalkan saya contohkan
seperti ini. Ada banyak orang muslim yang baik hati hingga mau menyumbang
pembangunan sebuah mesjid yang nilainya tak jarang hingga milyaran rupiah. Akan
tetapi bila ia dimintai sumbangan sebesar itu, atau separuhnya saja, untuk
mengembangkan da’wah Islam, memberantas kekufuran dan kemusyrikan, mendukung
kegiatan Islam yang berlandaskan syari’ah atau kegiatan-kegiatan lain yang
memiliki tujuan besar, maka kadang-kadang mereka justru enggan untuk memberikan
dana. Mereka seperti orang pekak, yang lebih percaya pada membangun batu
dibandingkan dengan membangun manusia.
Apabila kita perhatikan
lagi, khususnya di pulau jawa ini, masjid seakan bukan bangunan yang asing.
Hampir di setiap sudut terdapat masjid atau mushola. Bahkan tak jarang ada
kawasan yang masih dalam satu Rukun Tetangga tetapi memiliki masjid yang
berjumlah lebih dari satu. Yang lebih mencenangkan lagi ukuran masing-masing
masjidnya pun bisa lebih dari cukup untuk menampung orang dalam satu Rukun
Tetangga tersebut. Namun sering kali tetap saja ada pembangunan untuk
memperbesar dan memperindah masjid-masjid itu. Sehingga dana umat terserap ke
sana dan yang tersalurkan pada hal lain menjadi sangat sedikit.
Lain lagi pada sejumlah
besar kaum muslim yang kaya raya. Banyak diantara mereka yang
berbondong-bondong datang ke tanah suci untuk melakukan ibadah haji maupun
umroh setiap tahunnya. Untuk hal tersebut mereka dapat mengeluarkan dana yang
tidak sedikit dengan mudah. Tapi kita lihat sendiri di Indonesia ini masih
banyak orang miskin yang memerlukan bantuan mereka. Padahal Allah sudah tidak
mewajibkan lagi haji dan umrah pada mereka.
Di Indonesia sendiri masih
banyak saudara kita yang justru hidup dalam keadaan yang serba kekurangan. Baik
itu dari segi harta, keilmuan maupun dari segi kemandirian. Ketika mereka dimintai
sumbangan untuk membangun pondok tahfidz,
membiayai beberapa ulama muda untuk menyebarkan ilmu dipelosok pedalaman,
membantu korban bencana, membangun lembaga-lembaga tandingan dalam menghadapi
lembaga-lembaga liberalisme, sekulerisme, serta golongan-golongan lain yang
hendak melemahkan Islam, justru terdapat keengganan dalam hati mereka untuk
berpartisipasi.
Apabila disampaikan kepada
mereka, ”Bagaimana pendapat Anda jika pada tahun ini Anda tidak perlu melakukan
ibadah haji lagi. Lalu kemudian uang untuk ibadah haji tersebut disumbangkan
untuk membangun lembaga untuk menghadapi arus liberalisme hingga kritenisasi
yang semakin gencar. Apabila Anda bersedia dan banyak dari orang yang telah
menunaikan ibadah haji lebih dari sekali juga mengikuti jejak langkah Anda,
maka dana yang terkumpul itu bisa menjadi proyek besar. Selain itu juga Anda
akan mendapatkan pahala baik dari orang yang mengikuti jejak langkah Anda,
maupun dari setiap kegiatan lembaga.”
Namun sangat disayangkan
saudara-saudara kita hampir kebanyakan menjawab, “Sesungguhnya kami ini bila
bulan Zulhijjah tiba akan merasa sangat senang. Dan rasa senang itu membawa
kami pada kerinduan untuk melakukan ibadah haji. Kami merasa bahwa ruh-ruh kami
seakan terpanggil untuk kembali beribadah ke sana. Kami juga merasan berbahagia
apabila dapat melaksanakan ibadah haji setiap musim bersama para jamaah haji
lainnya.”
Apabila saya boleh mengutip
kata-kata dari Bisyr al-Hafi, “Kalau setiap muslimin mau memahami, memiliki
keimanan yang benar, dan mengetahui makna fiqih prioritas, maka dia akan
merasakan kebahagiaan yang lebih besar dan suasana kerohanian yang lebih kuat,
setiap kali dia mengalihkan dana ibadah haji itu untuk memelihara anak-anak
yatim, memberi makan orang-orang yang kelaparan, memberi tempat perlindungan
bagi orang-orang yang terlantar, mengobati orang sakit, mendidik orang-orang
yang bodoh, atau memberi kesempatan kerja kepada para penganggur.”
“Apakah
(orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan
mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di
sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang lalim.
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan
harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan
itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka
dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridaan dan surga, mereka memperoleh di
dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang
besar.” (at-Taubah: 19-22)
Sungguh sangat disayangkan
memang. Umat ini masih belum begitu memahami prioritas sesungguhnya yang
benar-benar diperlukan umat pada jaman ini. Sering kali juga banyak kelompok
kaum muslimin yang bertengkar mempertahankan diri dalam masalah juz’iyah atau masalah-masalah khilafiyah dan melalaikan perjuangan
Islam yang lebih besar melawan musuh-musuh Islam. Bahkan tidak sedikit yang
memperdebatkan masalah-masalah ringan seperti jam tangan harus diletakkan di
tangan kiri atau kanan, makan di atas meja sambil duduk di atas kursi lalu
menggunakan sendok dan garpu apakah menyerupai kaum kafir atau tidak dan
hal-hal sebagainya. Entah bagaimana hal itu justru hal tersebut menyita banyak
perhatian kaum muslim.
Pada jaman kemunduran ini, banyak kaum
muslimin yang terjebak pada suatu perbuatan yang hingga hari masih sering
dilakukan, diantaranya
1.
Mereka tidak mengindahkan (sampai kepada suatu batas yang sangat besar) fardhu-fardhu kifayah
yang berkaitan umat secara menyeluruh. Contohnya seperti peningkatan ilmu
pengetahuan, perindustrian, kepiawaian dalam peperangan, yang sesungguhnya
dapat menjadikan umat menjadi mandiri.
2.
Mereka juga
mengabaikan sebagian fardhu ‘ain,
atau melaksanakannya secara tidak sempurna. Seperti misalnya kewajiban yang
masih sering dilakukan adalah sholat, tapi kadang melupakan kewajiban amar
ma’ruf nahi munkar. Banyak dari kita yang merasa enggan untuk mengingatkan
saudara kita sendiri karena merasa yang penting diri kita masih melakukan
sholat.
3.
Mereka menumpukan
perhatiannya kepada sebagian rukun Islam lebih banyak dibandingkan dengan rukun
Islam yang lain. Yang lebih sering terjadi adalah lebih banyak sholat tapi
enggan untuk berzakat. Ada pula yang masih sering tidak berpuasa pada bulan
ramadhan.
4.
Mereka lebih banyak
memperhatikan ibadah sunah mereka dibandingkan yang wajib. Pun lebih
mempedulikan ibadah-ibadah individual dibanding ibadah sosial. Seperti banyak
terjadi pada para pemeluk agama ini yang memperbanyak bacaan wirid, tasbih dan
zikir, tetapi melupakan perbuatan fardhu
yang bersifat sosial seperti memperlakukan kedua orang tua dengan baik,
silaturahim, bertetangga dengan baik, mengasihi orang-orang lemah, memelihara
anak yatim dan miskin, hingga menyingkirkan kemungkaran dan kezaliman.
5.
Mereka akhir-akhir
ini banyak yang memiliki kecenderungan untuk mempedulikan masalah furu’iyah dan mengabaikan
masalah-masalah pokok. Padahal jika kita terus berputar dalam masalah furu’i dan mengabaikan masalah pokok
makan kita tidak akan sampai di tujuan kita. Mereka melalaikan pondasi aqidah,
iman, tauhid dan keikhlasan dalam membela agama Allah.
6.
Dan kebanyakan dari
mereka juga lebih sibuk memerangi hal-hal yang makruh dan syubhat dibandingkan
hal-hal yang diharamkan dan bahkan telah menyebar luas. Bahkan ada yang sampai
berbicara dengan keras mengenai masalah yang makruh dan syubhat tapi seolah
tidak menyalahkan hal-hal yang jelas haramnya demi pamor belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar