Sabtu, 21 Desember 2013

Fiqh Prioritas (I)



FIQH PRIORITAS
Salah satu konsep terpenting dalam fiqih kita saat ini adalah apa yang disebut “fiqih prioritas” atau fiqh al-awlawiyyat. Yang dimaksud daam istilah tersebut adalah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai dan pelaksanaannya. Hal ini dilakukan agar sesuatu yang tidak penting tidak didahulukan atas sesuatu yang penting, dan sesuatu yang penting tidak didahulukan atas sesuatu yang lebih penting.
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (ar-Rahman: 7-9)

Sesungguhnya terdapat parameter yang berkaitan dengan tingkatan perbuatan baik. Pun demikian terdapat pula parameter yang berkaitan dengan penjelasan mengenai perbuatan baik. Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa manusia memiliki derajat yang berbeda walaupun nilai kemanusiaan mereka adalah sama. Ilmu dan amal perbuatan merekalah yang menjadi pembeda antara satu dan yang lainnya.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.  Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Apabila kita memperhatikan kehidupan kita dari berbagai sisi, maka kita akan menemukan bahwa timbangan prioritas pada umat tidak lagi seimbang. Banyak di berbagai negara yang mayoritas muslim, lebih memprioritaskan hal-hal yang berkenaan dengan dunia seni dan hiburan dibandingkan persoalan menyangkut ilmu pengetahuan dan pendidikan. Juga pada pikiran remajanya, banyak perhatian yang lebih dicurahkan terhadap olahraga dibandingkan olah akal dan pikiran. Makna pembinaan pun lebih berat pada bidang jasmaniah saja.
Bahkan media pun lebih menyebarluaskan berita tentang tokoh sepak bola dibandingkan dengan kehidupan kaum ilmuwan. Hal ini juga membuat masyarakat ikut menumpukan perhatian mereka pada bidang sepak bola dan mengesampingkan bidang lain. Maka tak heran jika bintang masyarakat saat ini adalah mereka yang menjadi atlet sepak bola, bukan para ilmuwan atau juru da’wah. Apabila ada seorang pemain sepak bola yang cedera, maka banyak media yang meliputnya. Namun apabila ada salah seorang ilmuwan yang meninggal dunia, hampir tidak ada media yang meliput. Padahal kita akan jauh kehilangan ilmuwan yang dapat memperbaiki dunia ini dibanding hanya seorang atlet yang menjadi penghibur. Oleh sebab itu maka prioritas kita dalam hal dunia ini harus diperbaiki lagi.
Penyimpangan masalah fiqih ini sebenarnya tidak hanya terjadi di kalangan awan kaum muslimin. Apabila kita perhatikan sekeliling kita, maka tidak sedikit pula orang yang telah menisbatkan dirinya pada agama ini juga tidak memprioritaskan hal yang tepat. Hal ini karena tidak adanya pengetahuan dan fiqih yang benar.
Sering kali kita mendapati orang yang menyibukkan diri dengan perbuatan yang tidak kuat (marjuh) dan menganggapnya sebagai amalan yang kuat (rajih) – walaupun sebenarnya mereka adalah orang yang ikhlas – dan menutup diri di dalamnya. Mereka sibuk dengan perbuatan yang tidak utama (mafaduhul) dan melalaikan perbuatan yang utama (fadhil). Memang kadang perbuatan tersebut pada suatu masa merupakan perbuatan yang utama. Akan tetapi pada masa yang lain hal tersebut pada masa yang lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan yang utama. Akan tetapi karena pengetahuan dan pemahaman mereka yang kurang, sehingga tidak bisa membedakan antara dua masa dan suasana yang berlainan itu.
Misalkan saya contohkan seperti ini. Ada banyak orang muslim yang baik hati hingga mau menyumbang pembangunan sebuah mesjid yang nilainya tak jarang hingga milyaran rupiah. Akan tetapi bila ia dimintai sumbangan sebesar itu, atau separuhnya saja, untuk mengembangkan da’wah Islam, memberantas kekufuran dan kemusyrikan, mendukung kegiatan Islam yang berlandaskan syari’ah atau kegiatan-kegiatan lain yang memiliki tujuan besar, maka kadang-kadang mereka justru enggan untuk memberikan dana. Mereka seperti orang pekak, yang lebih percaya pada membangun batu dibandingkan dengan membangun manusia.
Apabila kita perhatikan lagi, khususnya di pulau jawa ini, masjid seakan bukan bangunan yang asing. Hampir di setiap sudut terdapat masjid atau mushola. Bahkan tak jarang ada kawasan yang masih dalam satu Rukun Tetangga tetapi memiliki masjid yang berjumlah lebih dari satu. Yang lebih mencenangkan lagi ukuran masing-masing masjidnya pun bisa lebih dari cukup untuk menampung orang dalam satu Rukun Tetangga tersebut. Namun sering kali tetap saja ada pembangunan untuk memperbesar dan memperindah masjid-masjid itu. Sehingga dana umat terserap ke sana dan yang tersalurkan pada hal lain menjadi sangat sedikit.
Lain lagi pada sejumlah besar kaum muslim yang kaya raya. Banyak diantara mereka yang berbondong-bondong datang ke tanah suci untuk melakukan ibadah haji maupun umroh setiap tahunnya. Untuk hal tersebut mereka dapat mengeluarkan dana yang tidak sedikit dengan mudah. Tapi kita lihat sendiri di Indonesia ini masih banyak orang miskin yang memerlukan bantuan mereka. Padahal Allah sudah tidak mewajibkan lagi haji dan umrah pada mereka.
Di Indonesia sendiri masih banyak saudara kita yang justru hidup dalam keadaan yang serba kekurangan. Baik itu dari segi harta, keilmuan maupun dari segi kemandirian. Ketika mereka dimintai sumbangan untuk membangun pondok tahfidz, membiayai beberapa ulama muda untuk menyebarkan ilmu dipelosok pedalaman, membantu korban bencana, membangun lembaga-lembaga tandingan dalam menghadapi lembaga-lembaga liberalisme, sekulerisme, serta golongan-golongan lain yang hendak melemahkan Islam, justru terdapat keengganan dalam hati mereka untuk berpartisipasi.
Apabila disampaikan kepada mereka, ”Bagaimana pendapat Anda jika pada tahun ini Anda tidak perlu melakukan ibadah haji lagi. Lalu kemudian uang untuk ibadah haji tersebut disumbangkan untuk membangun lembaga untuk menghadapi arus liberalisme hingga kritenisasi yang semakin gencar. Apabila Anda bersedia dan banyak dari orang yang telah menunaikan ibadah haji lebih dari sekali juga mengikuti jejak langkah Anda, maka dana yang terkumpul itu bisa menjadi proyek besar. Selain itu juga Anda akan mendapatkan pahala baik dari orang yang mengikuti jejak langkah Anda, maupun dari setiap kegiatan lembaga.”
Namun sangat disayangkan saudara-saudara kita hampir kebanyakan menjawab, “Sesungguhnya kami ini bila bulan Zulhijjah tiba akan merasa sangat senang. Dan rasa senang itu membawa kami pada kerinduan untuk melakukan ibadah haji. Kami merasa bahwa ruh-ruh kami seakan terpanggil untuk kembali beribadah ke sana. Kami juga merasan berbahagia apabila dapat melaksanakan ibadah haji setiap musim bersama para jamaah haji lainnya.”
Apabila saya boleh mengutip kata-kata dari Bisyr al-Hafi, “Kalau setiap muslimin mau memahami, memiliki keimanan yang benar, dan mengetahui makna fiqih prioritas, maka dia akan merasakan kebahagiaan yang lebih besar dan suasana kerohanian yang lebih kuat, setiap kali dia mengalihkan dana ibadah haji itu untuk memelihara anak-anak yatim, memberi makan orang-orang yang kelaparan, memberi tempat perlindungan bagi orang-orang yang terlantar, mengobati orang sakit, mendidik orang-orang yang bodoh, atau memberi kesempatan kerja kepada para penganggur.”

Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang lalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridaan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.  Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (at-Taubah: 19-22)

Sungguh sangat disayangkan memang. Umat ini masih belum begitu memahami prioritas sesungguhnya yang benar-benar diperlukan umat pada jaman ini. Sering kali juga banyak kelompok kaum muslimin yang bertengkar mempertahankan diri dalam masalah juz’iyah atau masalah-masalah khilafiyah dan melalaikan perjuangan Islam yang lebih besar melawan musuh-musuh Islam. Bahkan tidak sedikit yang memperdebatkan masalah-masalah ringan seperti jam tangan harus diletakkan di tangan kiri atau kanan, makan di atas meja sambil duduk di atas kursi lalu menggunakan sendok dan garpu apakah menyerupai kaum kafir atau tidak dan hal-hal sebagainya. Entah bagaimana hal itu justru hal tersebut menyita banyak perhatian kaum muslim.
 Pada jaman kemunduran ini, banyak kaum muslimin yang terjebak pada suatu perbuatan yang hingga hari masih sering dilakukan, diantaranya
1.      Mereka tidak mengindahkan (sampai kepada suatu batas yang sangat besar) fardhu-fardhu­ kifayah yang berkaitan umat secara menyeluruh. Contohnya seperti peningkatan ilmu pengetahuan, perindustrian, kepiawaian dalam peperangan, yang sesungguhnya dapat menjadikan umat menjadi mandiri.
2.      Mereka juga mengabaikan sebagian fardhu ‘ain, atau melaksanakannya secara tidak sempurna. Seperti misalnya kewajiban yang masih sering dilakukan adalah sholat, tapi kadang melupakan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Banyak dari kita yang merasa enggan untuk mengingatkan saudara kita sendiri karena merasa yang penting diri kita masih melakukan sholat.
3.      Mereka menumpukan perhatiannya kepada sebagian rukun Islam lebih banyak dibandingkan dengan rukun Islam yang lain. Yang lebih sering terjadi adalah lebih banyak sholat tapi enggan untuk berzakat. Ada pula yang masih sering tidak berpuasa pada bulan ramadhan.
4.      Mereka lebih banyak memperhatikan ibadah sunah mereka dibandingkan yang wajib. Pun lebih mempedulikan ibadah-ibadah individual dibanding ibadah sosial. Seperti banyak terjadi pada para pemeluk agama ini yang memperbanyak bacaan wirid, tasbih dan zikir, tetapi melupakan perbuatan fardhu yang bersifat sosial seperti memperlakukan kedua orang tua dengan baik, silaturahim, bertetangga dengan baik, mengasihi orang-orang lemah, memelihara anak yatim dan miskin, hingga menyingkirkan kemungkaran dan kezaliman.
5.      Mereka akhir-akhir ini banyak yang memiliki kecenderungan untuk mempedulikan masalah furu’iyah dan mengabaikan masalah-masalah pokok. Padahal jika kita terus berputar dalam masalah furu’i dan mengabaikan masalah pokok makan kita tidak akan sampai di tujuan kita. Mereka melalaikan pondasi aqidah, iman, tauhid dan keikhlasan dalam membela agama Allah.
6.      Dan kebanyakan dari mereka juga lebih sibuk memerangi hal-hal yang makruh dan syubhat dibandingkan hal-hal yang diharamkan dan bahkan telah menyebar luas. Bahkan ada yang sampai berbicara dengan keras mengenai masalah yang makruh dan syubhat tapi seolah tidak menyalahkan hal-hal yang jelas haramnya demi pamor belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar